welcome to my site >>> GOD bless you aLL ^^

Hillsong United - Came To My Rescue Lyrics @ LyricsTime.com

Rabu, 20 Juli 2011

Makalah Politik & Pemerintahan Kamboja ( ASTENG )

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Nama negara: Kerajaan Kamboja
Bendera Nasional: Terdiri dari tiga segi panjang melintang yang sejajar, di tengahnya adalah segi panjang agak lebar warna merah, di atas dan bawahnya adalah segi panjang warna biru. Warna merah melambangkan keberuntungan dan kegembiraan, warna biru lambang terang dan kebebasan. Di bagian tengah jalur warna merah terdapat gambar Angkor Watt putih dengan pinggiran emas. Angkor Watt adalah bangunan Buddha yang tersohor, melambangkan sejarah Kamboja yang panjang dan budayanya yang tua.
Lambang negara: pedang raja di dalam gambar berbentuk belah ketupat berada di atas sebuah baki, melambangkan supremasi kekuasaan raja; atap berbentuk payung lima susun dikawal oleh singa di kedua sisinya. Dalam budaya adat Kamboja, angka lima melambangkan kesempurnaan dan keberuntungan; daun palem di kedua sisi melambangkan kemenangan. Pita di bagian dasar tertulis "Raja Kerajaan Kamboja" dalam bahasa Kamboja. Seluruh gambar melambangkan Kerajaan Kamboja di bawah pimpinan raja adalah sebuah negara kesatuan, utuh, bersatu dan bahagia.

Hari kemerdekaan (Hari berdirinya tentara): 9 November ( memproklamasikan kemerdekaan setelah membebaskan diri dari dominasi kolonial Perancis tahun 1953); Hari nasional: 24 Juni.

Geografi dan kondisi alam: luas 180.000 km persegi lebih. Terletak di bagian selatan Semenanjung Tengah Selatan Asia Tenggara, berbatasan dengan Laos di sebelah utara, bertetangga dengan Thailand di sebelah barat laut, bersambung dengan Vietnam di sebelah timur dan tenggara, dan menghadap Teluk Siam di sebelah barat daya. Panjang garis pantai 460 km. Tergolong iklim angin musiman tropik, suhu rata-rata sepanjang tahun 29?30 derajat Celsius, antara Mei dan Oktober adalah musim hujan, dan antara November dan April tahun berikutnya adalah musim kemarau.

Populasi: 13,40 juta jiwa, 84,3 persen di antaranya penduduk desa, jumlah penduduk kota 15,7 persen. Terdapat lebih 20 etnis, jumlah penduduk etnis Khmer menempati 80 persen. Bahasa Khmer adalah bahasa nasional, bersama bahasa-bahasa Inggris dan Perancis merupakan bahasa resmi. Buddha adalah agama nasional, lebih 80 persen penduduk menganut agama Buddha.

Ibukota dan daerah administrasi: Pnom Penh, jumlah penduduk 1,10 juta (tahun 1998). Seluruh negeri terbagi 20 provinsi dan 4 kota tingkat provinsi. Pnom Penh adalah pusat politik, ekonomi, kebudayaan dan agama seluruh negeri.
1.2 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui tentang bagaimana ekonomi, politik dan pemerintahan di Kamboja.
2. Mengetahui tentang konflik yang terjadi di negara di Kamboja.
3. Mengetahui tentang perkembangan isu korupsi di Kamboja.
4. Mengetahui tentang gerakan sipil wanita di kamboja.
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pergerakan ekonomi, politik dan pemerintahan di Kamboja ?
2. Bagaimanakah konflik yang terjadi di negara di Kamboja dan isu korupsinya ?
3. Bagaimanakah gerakan sipil wanita di kamboja ?


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Profil Negara Kamboja
Kamboja (i / k E, m b oʊ d i ə / , berasal dari bahasa sansekerta :कम्बोजदेश
Kambujadesa ),secara resmi dikenal sebagai Kerajaan Kamboja ( Khmer : Preah Réachéa Nachâk Kamboja ), adalah sebuah negara di Asia Tenggara yang Perbatasan Thailand ke barat dan Northwest, Laos ke Timur Laut, Vietnam di timur, dan Teluk Thailand untuk Southwest tersebut

a. Bendera lambang dan Peta




b. Administrasi Negara
 Ibu kota negara : Phnom Penh
 Bahasa resmi : Khmer
 Pemerintahan : Monarki Konstitusional
 Raja : Norodom Sihamoni
 Perdana Menteri : Hun Sen
 Luas : 181.035 km2
 Penduduk : 14805000 [ 1 ] ( 66 ) (tahun 2010)
 Mata uang : Riel dan dolar


2.2. Pemerintahan, Politik dan Ekonomi Negara Kamboja
A. Sistem Pemerintahan Kamboja

Berdasarkan ketentuan Undang Undang Dasar (UUD), Kamboja adalah sebuah negara kerajaan monarki konstitusional dengan sistem trias politica. Raja adalah kepala negara seumur hidup, panglima tertinggi tentara negara, lambang kesatuan dan keabadian negara. Raja berhak mengumumkan amnesti, dan berhak membubarkan Majelis Nasional berdasarkan usul Perdana Menteri dan setelah mendapt persetujuan Ketua Majelis Nasional. Ketua Senat akan menjalankan tugas kepala negara selama raja berhalangan atau tidak berada di dalam negeri. Takhta kerajaan tidak diwariskan. Setelah raja wafat, Komisi Takhta Kerajaan 9 Orang yang terdiri dari perdana menteri, pemimpin kedua faksi Buddhis, ketua dan wakil ketua Senat dan Majelis Nasional akan memilih raja baru dari keturunan raja.
Majelis Nasional adalah lembaga kekuasaan dan lembaga legislatif tertinggi di Kamboja, masa tugas 5 tahun. Senat adalah lembaga legislatif negara, berhak membahas rancangan undang-undang (RUU) yang diluluskan Majelis Nasional, masa tugas 6 tahun. UUD Kamboja menetapkan, undang-undang negara harus dibahas dan diluluskan oleh Majelis Nasional, Senat dan Komisi Konstitusional, dan akan berlaku setelah ditandatangani oleh raja. Tugas kepala negara dijalankan untuk sementara oleh Ketua Senat selama raja berhalangan atau tidak berada di dalam negeri. Juli 2004, Kamboja memberlakukan pasal UUD tambahan yang menetapkan bahwa Majelis Nasional dapat menentukan calon pimpinan Majelis Nasional dan mengesahkan pemerintah baru dengan mengadakan pemungutan suara. Oktober 2004, Majelis Nasional Kamboja membahas dan mengesahkan undang-undang tentang pembentukan dan pelaksanaan komposisi Komisi Takhta Kerajaan tentang pemilihan pewaris takhta kerajaan. Dalam mana ditetapkan untuk memilih raja baru Kamboja dalam waktu 7 hari setelah raja wafat, pensiun dan mundur dari takhtanya.

B. Politik Kamboja
Ditinjau dari sudut politik, negara yang mempunyai nama resmi Republik Kampuchea (Sathearanakrath Pracheachea Kampuchea) ini, merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang paling sering mengalami ketidakstabilan politik. Negara ini sejak dulu selalu mengalami konflik-konflik politik yang cukup serius sebagai akibat persaingan kekuasaan di kalangan elit politik yang ada. Hampir setiap kali terjadi pertentangan, salah satu di antara mereka selalu meminta bantuan negara tetangganya yaitu Vietnam dan Muangthai guna membantu memenangkan pertentangan tersebut. Ketidakstabilan politik tersebut mencapai puncaknya ketika pada tahun 1970-an negara Kamboja di bawah pemerintahan Pol Pot yang dikenal sebagai rejim kaku, keras, brutal, dan banyak memusuhi rakyatnya sendiri. Berikut ini beberapa bentuk pemerintahan dan proses pergantiannya sebelum pemerintahan Pol Pot di Kamboja tahun 1975-1979:

a. Kamboja di bawah Pemerintahan Sihanouk
Pangeran Norodom Sihanouk yang mempunyai nama lengkap Pangeran Samdech Preah Norodom Sihanouk lahir di Phnom Penh pada tanggal 31 Oktober 1922. Sihanouk memulai karir politiknya sejak usia 18 tahun, yaitu ketika ia diangkat menjadi raja oleh Perancis untuk menggantikan kakeknya yaitu raja Monivong yang meninggal. Pada awal masa pemerintahannya sistem politik di Kamboja masih didominasi oleh Perancis. Hal ini disebabkan karena Kamboja masih berada di bawah kekuasaan Perancis. Sementara itu, sebagai penguasa Pangeran Sihanouk tidak mempunyai kekuatan untak melawan Perancis karena dengan jasa Perancislah Sihanouk dapat menjadi raja di Kamboja .
Pada tahun 1940-an terjadi perubahan drastis dalam sistem kolonialisme Perancis di suluruh dunia. Perubahan drastis tersebut disebabkan karena kekalahan Perancis dalam menghadapi serbuan Jerman. Kekalahan Perancis ini menyebabkan posisinya di negara-negara jajahan melemah. Sehubungan dengan melemahnya posisi Perancis di negara-negara jajahan termasuk juga di wilayah Asia, maka dengan mudah Jepang mengambil alih kekuasaan Perancis di wilayah Asia khususnya kawasan Indocina.
Selama berkecamuknya Perang Pasifik, pemerintah pendudukan Jepang tetap menjadikan Sihanouk sebagai kepala negara tanpa portofolio, sementara wewenang dan kekuasaan seluruhnya tetap dipegang oleh militer Jepang. Selain tetap menjadikan Sihanouk sebagai kepala negara, Jepang juga menjanjikan kemerdekaan bagi Kamboja apabila Kamboja mau membantu Jepang dalam memenangkan Perang Asia Timur Raya. Namun kemerdekaan yang dijanjikan Jepang tersebut hanya tinggal angan-angan karena kekalahan Jepang dalam Perang Asia Pasifik (Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus Suplemen, 1992: 307). Setelah dua kota besar Jepang yaitu Hirosima dan Nagasaki dibom atom oleh Sekutu maka kekuatan Jepang semakin merosot di berbagai negara, bahkan boleh dikata Jepang mengalami kekalahan. Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II menyebabkan daerah kekuasaannya jatuh ke tangan Sekutu. Dalam hal ini Kamboja kembali berada di bawah kekuasaan Perancis.
Dengan berkuasanya kembali Perancis di wilayah Kamboja, hal ini menimbulkan perbedaan pendapat di antara kalangan elit politik yang ada, yaitu mengenai langkah yang harus dipilih Kamboja guna mencapai kemerdekaan dari Perancis. Ada dua kelompok utama yang berbeda pendapat yaitu: pertama, kelompok yang dipimpin oleh Pangeran Sihanouk dan Pangeran Minoreth yang menghendaki Kamboja tetap berlindung di bawah sayap kekuasaan Perancis. Pendapat ini dilandasi pemikiran bahwa Kamboja belumlah mampu menanggulani bermacam-macam permasalahan ekonomi dan politik yang timbul sebagai akibat peperangan. Menurut Pangeran Sihanouk bahwa lewat perundingan-perundingan yang bertahap kemerdekaan Kamboja dapat dicapai kembali. Kedua, kelompok Son Ngoc Tanh yaitu kelompok yang memiliki rasa nasionalisme tinggi dan terkenal anti Perancis. Mereka menganggap bahwa masalah kesulitan ekonomi dan politik dapat diatasi apabila Kamboja telah mendapatkan kemerdekaan politik dari Perancis. Kelompok Son Ngac Tanh ini dalam perkembangannya mengalami kehancuran karena ditangkapnya Son Ngac Tanh oleh tentara Sekutu dan kemudian diasingkan ke Perancis. Setelah terjadi peristiwa penangkapan tersebut, sebagian dari pengikut Son Ngoc Tanh melarikan diri ke wilayah Kamboja Utara. Di wilayah inilah akhirnya mereka melarikan diri ke Bangkok (Ramlan Surbakti, 1985: 21).
Pada tahun 1952-1953 gerakan perlawanan anti Perancis di bawah pengaruh Khmer Issarak semakin kuat, dan mencapai puncaknya ketika pada tanggal 9 November 1953 Kamboja berhasil mendapatkan pengakuan kemerdekaan dari Perancis. Akan tetapi pengakuan kemerdekaan tersebut belum secara penuh karena dalam urusan luar negeri Kamboja masih berada di bawah kekuasaan Perancis. Perancis baru mengakui kemerdekaan Kamboja secara penuh setelah kekalahannya atas Vietnam selatan di Dien Bien Phu, yang kemudian ditindaklanjuti dengan diadakannya perjanjian Jenewa pada tanggal 20 juli 1954. Salah satu isi perjanjian Jenewa tersebut ialah diakuinya secara penuh kemerdekaan negara-negara Indocina termasuk Kamboja (Kirdi Dipoyudo, 1983: 27).
Setelah Perjanjian Jenewa, tepatnya pada tahun 1955 Sihanouk mengundurkan diri sebagai raja Kamboja dan jabatannya diserahkan kepada ayahnya yang bernama Norodom Suramarit. Pengunduran diri Sihanouk sebagai penguasa di Kamboja dimaksudkan agar ia dapat melibatkan diri secara langsung dalam pencaturan politik menjelang diadakannya pemilu pada bulan Mei 1955. Setelah pengunduran diri tersebut, kemudian Sihanouk membentuk suatu gerakan politik yang diberi nama Sangkum Reastr Niyum, yaitu Persatuan Rakyat Sosialis guna mengikuti pemilu. Pada pemilihan umum yang diadakan pada bulan Mei 1955 tersebut, ternyata partai Sangkum Reastr Niyum berhasil memperoleh kemenangan yang sangat besar sehingga Sihanouk dapat menduduki jabatan sebagai perdana menteri. Pada tahun 1960 ayah Sihanouk meninggal dunia, maka jabatan sebagai kepala negara diserahkan kepadanya. Dengan demikian Sihanouk pada waktu itu memegang dua jabatan yaitu sebagai perdana mentari sekaligus merangkap sebagai kepala negara (Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus I, 1992: 576).
Sepeninggal ayahnya yaitu Pangeran Norodom Suramarit, karir Sihanouk mencapai puncak ketenaran karena ia berhasil mendomonasi peta perpolitikan negara Kamboja. Pada awal kekuasaannya, Pangeran Sihanouk berusaha menjaga netralitas dari kemungkinan jatuhnya Kamboja dalam pengaruh negara lain. Salah satu bukti dari usaha Sihanouk tersebut adalah Kamboja berhasil menghindarkan diri dari keterlibatan secara langsung dalam perang Indocina, yaitu perang antara Vietnam Utara dengan Vietnam Selatan. Bahkan, Sihanouk menolak untuk dijadikan anggota SEATO (South East Asia Threaty Organization) sebagai sekutu dari Amerika Serikat (Kirdi Dipoyudo, 1983: 35). Namun dalam perkembangannya Pangeran Sihanouk menggeser politik netralitasnya karena menurut Sihanouk ancaman utama bagi Kamboja sekarang bukanlah komunisme tetapi ekspansi dari Vietnam Selatan dan Muangthai. Oleh karena itu, Pangeran Sihanouk menjalin persahabatan dengan Vietnam Utara dan Cina, Pangeran Sihanouk mengijinkan komunis menduduki propinsi-propinsi Kamboja di sebelah timur sebagai tempat perlindungan bagi operasi pembebasan di daerah Vietnam Selatan dan menyerang tentara Vietnam Selatan yang melintasi wilayah Kamboja.


Tindakan Sihanouk yang memberi angin kepada Vietnam Utara dengan mengijinkan wilayah Kamboja sebagai jalur penyerangan ke wilayah Vietnam Selatan, dianggap gagal membawa Kamboja mempertahankan netralitas. Karena terbukti adanya 30.000 sampai 50.000 tentara Vietnam Utara di Kamboja (Kirdi Dipoyudo, 1983: 36). Sebagai imbalannya Kamboja mendapat jaminan integritas territorial dari Vietnam Utara dan Cina. Setelah menjalin hubungan dengan Vietnam Utara dan Cina, pada tahun 1963 Pangeran Sihanouk mengadakan kampanye anti-Amerika dengan cara menolak bantuan dari Amerika Serikat. Kampanye anti-Amerika tersebut mencapai puncaknya ketika pada tahun 1965 Kamboja memutuskan hubungan diplomatik dengan Washington (Editor, 23 Juli 1988: 10).
Kebijakan Pangeran Sihanouk yang mengijinkan Vietnam Utara memasuki daerah perbatasan Kamboja sebagai tempat perlindungan bagi operasi pembebasan di Vietnam Selatan dan kebijakan anti-Amerikanya sangat ditentang oleh kelompok birokrat dan pengusaha. Sementara itu, kelompok intelektual juga kurang begitu senang dengan Sihanouk karena dominasinya yang terlalu besar di panggung politik. Selain kelompok birokrat, pengusaha, intelektual, rasa ketidaksenangan terhadap Sihanouk juga diungkapkan oleh kelompok sayap kiri yang dimotori oleh Khmer Communist Party (KCP) atau Partai Komunis Khmer. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada bulan April 1970 yaitu ketika Pangeran Sihanouk sedang pergi ke Perancis dan di tengah-tengah memuncaknya perang Indocina II, kelompok militer pimpinan Lon Nol dan Pangeran Sisowath Sirik Matak yang didukung oleh kelompok birokrat melancarkan kudeta terhadap pemerintah. Kudeta tersebut berhasil menggulingkan pemerintahan Pangeran Sihanouk (Editor 23 Juli 1988). Maka sejak saat itu Kamboja berada di bawah kekuasaan Jenderal Lon Nol. Bagi Sihanouk karena sudah tidak mempunyai tempat lagi di Kamboja akhirnya ia menetap di Beijing. Ditempat pengasingan inilah Sihanouk melakukan aktivitas memimpin gerakan perlawanan terhadap Lon Nol.

b. Kamboja di bawah Pemerintahan Lon Nol
Jenderal Lon Nol lahir di propinsi Prey Veng Kamboja pada tanggal 13 November 1913. Sejak kecil Lon Nol tergolong anak yang cerdas. Berkat kecerdasan itulah Lon Nol sukses dalam bidang politik. Hal ini dapat dilihat pada masa kekuasaan kolonial Perancis, tepatnya pada tanggal 1945 ia diangkat menjadi gubernur di Propinsi Kratie. Selanjutnya pada tahun 1952 Lon Nol ditunjuk menjadi pemimpin sebuah delegasi perundingan antara Kamboja dengan Muangthai guna membahas pengembalian wilayah Battambang. Selain sukses dalam bidang politik, Lon Nol juga sukses dalam bidang militer.
Hal ini terbukti pada tahun 1961 Lon Nol menyandang pangkat tiga bintang yang setara dengan jenderal dan selanjutnya ia oleh Sihanouk diangkat menjadi menteri petahanan sekaligus merangkap sebagai panglima angkatan bersenjata (Editor, 23 Juli 1988: 10). Ketika pada tahun 1970 di Kamboja terjadi krisis akibat pembomam yang dilakukan Amerika Serikat terhadap pangkalan Vietkong di daerah perbatasan Vietnam-Kamboja, Lon Nol ditunjuk oleh Pangeran Sihanouk menjadi kepala pemeritahan sementara guna menggantikan dirinya yang sedang pergi ke Perancis dalam rangka kunjungan kenegaraan (Tempo, 20 Januari 1979: 10). Kepergian Pangeran Sihanouk ke Perancis dipandang sebagai waktu yang tepat oleh kelompok Lon Nol dan Sirik Matak untuk menggulingkan Sihanouk dari kursi pemerintahan di Kamboja, karena selama ini kelompok militer dan birokratis (Lon Nol dan Sirik Matak) kurang menyetujui kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Sihanouk yang dinilai lebih condong kepada komunis.
Setelah berhasil mengadakan kudeta tak berdarah pada bulan Maret 1970 dan menyatakan dirinya sebagai presiden Kamboja, Lon Nol segera mengambil beberapa tindakan yaitu, Pertama, mengadakan perubahan terhadap bentuk negara yaitu dari bentuk kerajaan menjadi republik (Sardiman AM. 1983: 65). Kedua, menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat guna menghadapi Khmer Merah. Bagi Amerika Serikat kerja sama yang dijalinnya dengan Lon Nol, didasarkan pada kepentingan politik dalam negerinya yang menghendaki kawasan Asia Tenggara bebas dari pengaruh ideology komunis yang ditiupkan oleh Cina, Uni soviet, dan Vietnam Utara.
Tindakan pemerintah Lon Nol yang menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat guna menghadapi gerakan komunis Khmer Merah dan mengadakan pengejaran terhadap gerilyawan komunis Vietnam Utara semakin merusak netralitas Kamboja. Sementara itu mengetahui kekuasaannya direbut oleh Lon Nol, di pengasingan Pangeran Sihanouk yang didukung oleh Cina mendirikan Royal Goverment of National Union of Cambodia (GRUNC) atau Pemeritahan Kerajaan Persatuan Nasional Kamboja. Selain mendapat dukungan dari Cina, pembentukan GRUNC juga mendapat dukungan dari komunis Khmer Merah dan Vietnam Utara. Keikutsertaan Sihanouk dalam gerakan bersama untuk menjatuhkan Lon Nol seakan memberikan dasar keabsahan yang kuat bagi tujuan perjuangan Khmer Merah (KCP). Selanjutnya untuk membentuk kader militer dan politik di dalam negeri, maka dibentuklah National United Front of Cambodia (NUFC) atau Front Persatuan Nasional Kamboja. NUFC yang merupakan aliansi dari beberapa kelompok seperti Khmer Rumdoah (pengikut Sihanouk), Khmer Merah pimpinan Pol Pot, Khmer Merah pro Vietnam dan Partai Pekerja Vietnam dalam perkembanganya mengalami perpecahan karena adanya perbedaan pendapat. Meskipun mengalami perpecahan tetapi pada akhirnya pada tahun 1975 GRUNC dan NUFC, yang keanggotaannya banyak didominasi komunis Khmer Merah pimpinan Pol Pot dapat mengalahkan pemerintahan Lon Nol dukungan Amerika Serikat. Dengan jatuhnya pemerintahan Lon Nol berarti menandai era baru negara Kamboja di bawah pemerintahan Khmer Merah pimpinan Pol Pot (Ramlan Surbakti 1985: 37).
Satu hal yang perlu mendapat perhatian selama masa pemerintahan Lon Nol (1970-1975) yaitu masuknya bantuan dan dukungan Amerika Serikat kepada pemerintahan Lon Nol. Dukungan dan bantuan pemerintahan Amerika Serikat ini sebenarnya tidak dapat memecahkan masalah politik Kamboja yang semakin memanas. Bahkan bantuan tersebut justru semakin mempertajam konflik internal Kamboja. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Bernard K. Gordan dalam Kirdi Dipoyudo (1983: 37) bahwa “masuknya tentara Amerika Serikat di Kamboja telah mendorong masuknya tentara Vietnam jauh ke dalam wilayah Kamboja. Masuknya tentara Vietnam yang hampir menguasai seluruh wilayah utara, sebagian wilayah timur dan bahkan propinsi-propinsi di sebelah utara mengakibatkan wilayah yang dapat dikontrol oleh pemerintahan Phnom Penh semakin sempit”. Mengenai bantuan Amerika Serikat yang akan diberikan kepada Kamboja, sebenarnya dari pihak Amerika Serikat sendiri terdapat perbedaan pendapat di mana sebagian anggota kongres menginginkan untuk mempertahankan Kamboja dari serangan gerilyawan komunis dengan cara terus menerus menambah bantuan amunisi dan bahan pangan, sedangkan sebagian yang lain menginginkan perdamaian. Setelah mengalami perdebatan yang panjang akhirnya perbedaan pendapat di antara sesama anggota kongres tersebut dapat dicapai kesepakatan bahwa perdamaian bagi Kamboja itu lebih penting daripada perang. Dalam hal ini perdamaian berarti Amerika Serikat harus meninggalkan Kamboja.
Perancis yang menjadikan negara Kamboja sebagai wilayah protektoratnya sejak 1863, mengangkat Sihanouk sebagai Raja pada tahun 1951 dan memberikan kemerdekaan kepada Kamboja pada 9 November 1953. Sihanouk kemudian memproklamirkan Kamboja sebagai negara yang netral dan berusaha tidak terlibat dalam Perang Vietnam.
Periode 1970 – 1993, Kamboja memasuki masa perang saudara yang menghancurkan infrastruktur fisik dan kapasitas sumber daya manusia. Masa ini juga ditandai dengan berkuasanya rejim Khmer Merah serta menjadikan Kamboja sebagai perebutan pengaruh kekuatan negara asing sebagai akibat dari perang dingin. Indonesia sangat berperan dalam upaya penyelesaian secara damai masalah di Kamboja. Tercapainya Ho Chi Minh City Understanding pada 27 Juli 1987, Jakarta Informal Meeting (JIM) I 1988, JIM II 1989, dan Paris Conference on Cambodia 1989 menunjukkan keterlibatan Indonesia dalam upaya damai tersebut. Kemudian pada 27 Juni 2004, Hun Sen dan Ranaridh seakat untuk membentuk pemerintahan koalisi dengan melakukan power sharing koalisi dengan melakukan power sharing di pemerintahan.
Berdasarkan konstitusi 1993, Kamboja adalah negara kerajaan yang menganut sistem demokrasi liberal, pluralisme dan ekonomi pasar. Raja Kamboja menjabat Kepala Negara menjabat sebagai Kepala Negara, tetapi tidak memerintah. Pemerintahan dipimpin oleh Perdana Menteri dengan dibantu oleh para menteri yang tergabung dalam Dewan Menteri (Council of Minister ). Kepala Negara Norodom Sihamoni naik tahta pada tanggal 29 Oktober 2004 (nnf).

C. Sistem Ekonomi Kamboja
Perekonomian Kamboja sempat turun pada masa Republik Demokratik berkuasa. Tapi, pada tahun 1990-an, Kamboja menunjukkan kemajuan ekonomi yang membanggakan. Kamboja memiliki industri unggulan yaitu pertanian dan turisme. Pendapatan per kapita Kamboja meningkat drastis, namun peningkatan ini tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara - negara lain di kawasan ASEAN. PDB bertumbuh 5.0% pada tahun 2000 dan 6.3 % pada tahun 2001. Agrikultur masih menjadi andalan utama kehidupan ekonomi masyarakat terutama bagi masyarakat desa, selain itu bidang pariwisata dan tekstil juga menjadi bidang andalan dalam perekonomian di Kamboja.
Perlambatan ekonomi pernah terjadi pada masa Krisis Finansial Asia 1997. Investasi asing dan turisme turun dengan sangat drastis, kekacauan ekonomi mendorong terjadinya kekerasan dan kerusuhan di Kamboja. IMF pada awal tahun ini memperkirakan penyusutan sebesar 0,5 persen tetapi sekarang melihat kontraksi 2,75 persen karena ekonomi “tidak bekerja sebaik yang diperkirakan” di beberapa daerah, pejabat IMF David Cowen mengatakan setelah kunjungan untuk mengevaluasi pembangunan.

Penggerak utama perekonomian Kamboja ekspor garmen ke Amerika Serikat, belanja wisatawan asing dan investasi asing dalam proyek-proyek konstruksi besar semuanya diproyeksikan akan menurun tajam.Meskipun dalam beberapa tahun mencatat pertumbuhan ekonomi dua digit sebelum merosot, Kamboja adalah salah satu negara termiskin di dunia, dan kekurangan pekerjaan dimana orang bekerja untuk hasil yang sedikit masih tinggi. Sejumlah 35 persen dari 14 juta orang penduduk negara itu hidup dengan kurang dari 50 sen dolar AS sehari.
Kamboja adalah negara pertanian tradisional, dasar industri lemah, tergolong salah satu negara yang paling tidak berkembang, 28 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Obyek-obyek wisata antara lain Angkor Watt yang tersohor di dunia.
Ekonomi Kamboja menunjukkan laju pertumbuhan yang sangat pesat dalam satu dekade terakhir, meskipun pendapatan per kapita menunjukkan peningkatan namun angka ini masih jauh berada dibawah negara - negara tetangga dalam satu kawasan ASEAN. Agrikultur menjadi bidang utama ekonomi di Kamboja disamping pariwisata dan tekstil.
Perlambatan ekonomi pernah terjadi saat Krisis finansial Asia 1997 disertai gejolak politik dan peperangan dalam masyarakat. Ekspor utama ke Amerika Serikat, Jerman, Britania Raya, Kanada dan Vietnam. Kamboja adalah negara tropis, terletak di Asia Tenggara di antara 10 dan 15 derajat lintang utara dari khatulistiwa dan iklim sama seperti Yogyakarta dan juga punya dua musim yang disebut musim kemarau dan hujan. System pengairan yang paling penting di Kamboja adalah sungai Mekong dan danau Tonle Sap. Sungai Mekong dan danau Tonle Sap memberikan tiga hal yang penting untuk ekonomi Kamboja yaitu: transportasi, pariwisata, perikanan, dan pertanian. Di Indonesia juga ada banyak sungai tetapi sungai di pulau Jawa bisa memberikan hal yang paling penting untuk sistem irigasi saja dan sedikit untuk perikanan.


2.3 Konflik yang terjadi di Kamboja
Konflik Kamboja – Thailand
Lebih dari setahun lalu, Thailand dan Kamboja terlibat ketegangan yang dipicu oleh klaim masing-masing pihak akan kepemilikan kuil Preah Vihear di perbatasan kedua negara. Candi berusia delapan abad itu memicu ketegangan setelah UNESCO menetapkannya sebagai Warisan Dunia. Tentara kedua negara di perbatasan bahkan sempat terlibat aksi saling tembak yang menjatuhkan korban jiwa. Namun berkat upaya sejumlah pihak, ketegangan akhirnya bisa diredakan setelah Thailand mengakui bahwa kuil itu memang masuk dalam bagian wilayah Kamboja. Permasalahannya terletak pada satu tempat : Kuil Preah Vihear. Sebuah kuil
berusia kurang-lebih 900 tahun tersebut kini sedang ramai-ramainya diperbincangkan. Penyebabnya adalah karena wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar kuil tersebut kini sedang diperebutkan dua negara ASEAN, Thailand dan Kamboja. Kedua negara itu sama-sama mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayahnya, dan kedua negara tersebut sama-sama berpendapat penempatan tentara dari negara lainnya di wilayah tersebut merupakan bukti pelanggaran kedaulatan nasional mereka. Juli 2008 lalu, kedua negara yang bertikai tersebut sama-sama menempatkan tentaranya yang keseluruhannya berjumlah lebih dari 4000 pasukan di kawasan Kuil Preah Viheara tersebut. Sebenarnya sejak dahulu, wilayah seluas 4,6 km2 ini memang sudah menjadi perdebatan. Akan tetapi, perdebatan semakin memanas sejak dikeluarkannya keputusan UNESCO yang memasukkan kuil itu ke dalam daftar warisan sejarah dunia. Keputusan UNESCO ini kemudian mengundang dua reaksi berbeda, reaksi gembira dari rakyat Kamboja, serta reaksi negatif dari rakyat Thailand. Sebenarnya, masalah kepemilikan kuil tersebut sudah diatur oleh Mahkamah Internasional tahun 1962, yang menyatakan kuil tersebut adalah milik rakyat Kamboja namun yang menjadi masalah di sini adalah wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar kuil tersebut yang tidak dijelaskan kepemilikannya oleh Mahkamah Internasional.

Masalah kepemilikan yang tidak jelas inilah yang menyebabkan terjadinya sengketa yang kemudian berlanjut dengan konflik bersenjata di wilayah itu. Konflik bersenjata yang terjadi pada tanggal 15 Oktober yang lalu tersebut dikabarkan telah menewaskan tiga tentara Kamboja dan membuat empat tentara Thailand luka-luka.
Hal ini tentu membuat warga Kamboja berang. Kemarahan warga Kamboja itu menyebabkan kedutaan Thailand dan beberapa usaha milik warga Thailand dibakar dan dijarah2 di Phnom Penh. Perdebatan mengenai wilayah sekitar Kuil Preah Vihear itu sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Perdebatan ini muncul karena Kamboja, sebagai negara bekas jajahan Perancis, dan Thailand menggunakan peta berbeda yang menunjukkan teritori masing-masing negara. Dan karena peta yang digunakan kedua negara tersebut berbeda (Kamboja menggunakan peta dari mantan penjajahnya, Perancis sementara Thailand menggunakan petanya sendiri), tentu saja banyak terjadi salah penafsiran mengenai besar wilayah masing-masing.

Perang Kamboja-Vietnam
Perang Kamboja-Vietnam (Vietnam: Chiến dịch phản công biên giới Tây-Nam Việt Nam) adalah konflik yang terjadi antara Republik Sosialis Vietnam dan Kamboja. Perang ini dimulai dengan invasi dan pendudukan Vietnam terhadap Kamboja dan penurunan Khmer Merah dari kekuasaan. Konflik ini juga mengemukakan bagaimana perpecahan Tiongkok-Soviet telah merusak pergerakan komunis. Partai Komunis Vietnam memihak kepada Uni Soviet, sementara Partai Komunis Kamboja tetap setia dengan Republik Rakyat Cina.


2.4. Isu korupsi yang terjadi di Kamboja

Kamboja adalah salah satu Negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki sejarah kelam dan juga memiliki angka korupsi yang cukup tinggi. Sebagai salah satu Negara yang tergolong sebagai Negara berkembang, Negara Kamboja memiliki tatanan politik yang masih banyak perlu di perbaiki. Tindak korupsi yang sering diungkit di Negara ini adalah tindakan para dokter yang membeli rumah sakit di kawasan kota Phnom Penh, sementara itu, penduduk dikawasan pedesaan tidak tersentuh sama sekali dengan kesehatan.
PM Kamboja Hun Sen mengecam korupsi di bidang pelayanan kesehatan di negaranya. Dengan uang dan koneksi para dokter dapat membeli posisi di rumahsdakit di ibukota, di mana mereka tidak dibutuhkan dan tidak dapat diaktifkan. Kata Hun Sen pada peresmian sebuah rumah sakit yang baru di Phnom Penh. 70 persen semua dokter buka praktek di ibukota, meski di Phnom Penh hanya hidup sepertiga dari penduduk. Yang dirugikan adalan penduduk pedesaan, yang tidak mendapat pelayanan media yang memadai. Hun Sen bulan September lalu dalam konferensi negara donor internasional mengumumkan akan lebih tegas menindak korupsi.

2.5. Gerakan sipil wanita di Kamboja
Ditempat kerja atau diirumah, perempuan-perempuan Kamboja seringkali mengalami diskriminasi.Mereka tidak mendapatkan pendidikan dan kesempatan yang sama seperti para kaum pria. Malahan, menjadi korban perdagangan manusia dan kekerasan dalam rumah tangga. Mu Sochua perempuan asal Kamboja, menghabiskan sebagian besar hidupnya memperjuangkan hak azasi perempuan. Tidak cuma merevolusikan peran perempuan di negara itu, ia juga mengupayakan pembebasan para perempuan dari berbagai penderitaan. Upayanya ini menarik perhatian internasional. Ia bahkan sempat dicalonkan sebagai penerima penghargaan perdamaian Nobel pada tahun 2005.
Ia memobilisasi para perempuan supaya saling bekerjasama. Jaringan global perempuan mendapatkan dukungan yang begitu banyak dari komunitas internasional. ia berupaya membantu para perempuan dan masyarakat supaya bebas dari kemiskinan. Mu Sochua, meninggalkan Birma ketika negara itu dilanda perang sipil. Ia ke Perancis dan di sana ia mendapatkan pendidikan. Setelah itu dia pindah ke California sebagai pengungsi.

Organisasi Perempuan Kamera
Berdiri pada tahun 1989, organisasi ini merupakan LSM pertama yang didirikan di Kamboja oleh Mu Sochua. Setelah perang sipil di negara itu berakhir. Ia membuat program Neary Ratanak atau ‘Perempuan : Permata Berharga’. “Neary Ratanak adalah program nasional yang mempromosikan kesetaraan gender. ia berupaya untuk merubah peribahasa Kamboja yang menyebutkan “Pria adalah emas sedangkan perempuan adalah kain putih. Setelah kain itu dinodai, maka akan ternoda untuk selamanya Jadi kami merubah peribahasa itu menjadi “Pria adalah emas. Perempuan adalah permata berharga.”

Organisasi ini memperjuangkan hak para perempuan kamboja, yang mana mereka sering diperdagangkan dalam industri seks, didiskriminasi, dan terinfeksi HIV/AIDS. Dan mereka hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Dan mereka juga berkampanye untuk menghentikan kekerasan, perdagangan manusia dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai HIV/AIDS. Mu Sochua ingin menghentikan ketidakadilan. Dengan salah satu jalan keluarnya adalah mendidik dan memberdayakan para perempuan.


BAB III
KESIMPULAN
Pengaruh politik dari perkembangan Perancis, menjadikan Kamboja, sebagai salah satu bagian dari Uni Indocina. Pada dekade berikutnya, para pemimpin kolonial Perancis memberlakukan sistem administratif Eropa dan memperbaiki infrastruktur di Negara Kamboja. Pada tahun 1941, para pemimpin kolonial Perancis mengangkat Pangeran Norodom Sihanouk yang baru berusia 18 tahun, sebagai raja Kamboja. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa Kamboja secara politik akan lebih mudah diawasi, karena rajanya masih muda dan tidak berpengalaman. Norodom Sihanouk memilih untuk tetap tinggal di Peking, ia memimpin pemerintahan dalam pelarian dan bangsa Khmer Merah merupakan bagian dari pemerintahan tersebut. Selama beberapa tahun, Khmer Merah makin lama makin menaklukan dan menguasai wilayah Kamboja, sampai pada akhirnya hanya Phnom Penh yang tersisa dibawah kekuasaan pemerintahan Lon Nol. Seluruh perekonomian diseluruh negeri berubah dibawah garis keras komunis, uang sudah hilang dari peredaran. Akibat dari semua itu adalah terjadinya kelaparan dan wabah penyakit didaerah tersebut.
Di Kamboja, ketegangan antara Khmer dan etnik Vietnam telah berlangsung selama beberapa abad, dan etnik Vietnam selalu mendapat perlakuan yang buruk disaat berintegrasi dengan peduduk Khmer. Kebencian kepada orang Vietnam dan apa saja mengenai Vietnam selalu menjadi amarah, dan Khmer Merah selalu dapat menghasut kelompok mereka untuk membenci orang-orang Vietnam dibangdingkan entik Vietnam, etnik Cina berintegrasi dengan baik dengan penduduk Khmer.
Banyak kalangan percaya bahwa kalau PBB tidak menarik diri dari tribunal Khmer Merah, maka PBB akan mendesak supaya Leng Sary juga di adili. Ia merupakan tokoh ketiga dalam Khmer Merah dan pernah menjabat sebagai menteri luar negeri dibawah Pol Pot. Leng Sary sebenarnya cukup menarik, karena ia sudah mendapat pengampunan, sehingga tidak dapat diadili tetapi nampaknya PBB berkehendak untuk mencabut pengampunan itu sehingga Leng Sary tetap akan harus diadili.
Sistem Monarkhi Konstitusional yang dianut oleh Negara Kamboja memberikan kekuasaan kepada raja sebagai penentu kebijakan Negara justru tidak memberikan peluang bagi perkembangan demokrasi, meskipun raja telah berusaha keras untuk tidak memasuki koridor politik namun jika menyangkut masyarakat banyak, ia tidak bias tinggal diam.


DAFTAR PUSTAKA
Gayo Iwan.2006.Kamus Pintar Junior. Jakarta:Pustaka Warga Negara
Tjahyono Adi, Robert, Drs.2007.Mengenal 192 Negara di Dunia.Yogyakarta:Pustaka Widyatama
Suryanto, Agus, S.Pd. 2007.Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap SD.Yogyakarta:Pustaka Widyatama
http://www.id.berita.yahoo.com/kamboja-perancis.
http://www.id.wikipedia.org/wiki/kategori.partai_politik_dikamboja
http://www.politikvivanews.com//2943_kamboja_thailand
http://wismabahasa.wordpress.com
http://www.google.com
http://www.asiacalling.org/460-cambodias-corruption,?fighters_silenc
http://www.voa_islam.com/news/south_earth_asia
http://www.pelitaonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan kettikkan komentar anda . . .