welcome to my site >>> GOD bless you aLL ^^

Hillsong United - Came To My Rescue Lyrics @ LyricsTime.com

Selasa, 07 Juni 2011

Makalah Analisis Kasus Tindak Pidana Pembunuhan Berantai Oleh Ryan dari Jombang

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Ketika kita mendengar kata "hukum," apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita? Jarang sekali kita langsung membayangkan suatu perangkat yang terdiri dari benda, manusia dan lembaga. Tetapi karena kita terbiasa mengalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum, maka kita kadang mengidentifikasikan atau mengartikan hukum sebagai polisi, penjara, pengadilan, atau hal-hal lain semacamnya. Bahkan seringkali perasaan yang timbul diiringi rasa takut dan khawatir yang berlebihan. Itu sebabnya banyak diantara kita yang sama sekali enggan berurusan dengan hal-hal yang menyangkut hukum. Perasaan-perasaan seperti itu sangat wajar, kalau saja kita belum memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan hukum itu sendiri. Pada hakekatnya hukum merupakan produk dari perkembangan masyarakat, di mana ketidak-teraturan dan kesewenang-wenangan juga kepentingan-kepentingan dari sekelompok masyarakat tertentu membutuhkan dan menghasilkan proses terciptanya serangkaian ketentuan-ketentuan dan kesepakatan-kesepakatan. Ketentuan-ketentuan yang disepakati itu kemudian dalam perkembangannya dikenal sebagai "hukum." Sehingga pada sebuah tubuh yang namanya hukum, dia mempunyai dua muka atau sisi: sisi keadilan dan sisi kepentingan.
Melalui penulisan makalah ini, tim penulis akan mengangkat salah satu contoh kasus hukum terkait pidana yang terjadi di dalam masyarakat, yaitu kasus Ryan, pria penjagal dari Jombang. Kasus Ryan ini mengejutkan semua orang, bukan hanya pihak kepolisian, tetapi juga masyarakat umum. Masyarakat Indonesia di gemparkan oleh kasus mutilasi yang dilakukan Ferry Idham Heniansyah alias Ryan. Dari pengakuan Ryan dan penelusuran polisi, hingga saat ini tercatat ada 11 korban mutilasi. Di duga masih akan ada korban korban berikutnya yang belum di ketemukan.
Kasus yang diangkat tim penulis dalam makalah ini adalah kasus pembunuhan Heri Santoso (40) yang dibunuh Ferry Idham Heniansyah alias Ryan (30), karena cemburu. Keduanya sama-sama tertarik pada Novel Andrias alias Noval (28). Mutilasi dilakukan di kamar 309A, Blok C, apartemen Margonda Garden Residence, Depok, Jum’at (11/7) pukul 20.00. Awalnya Heri datang ke apartemen Ryan dengan mobil Zuzuki APV hitam, B-8986-CR, pukul 20.00, Jum’at (11/7). Di apartemen, Heri melihat foto Noval, kekasih Feriansyah yang akrab dipanggil Ryan. Heri jatuh hati pada Noval, dan menyampaikan hal itu pada Ryan. Heri lalu menawarkan sejumlah uang kepada Ryan agar Noval bisa berhubungan intim dengan Heri. Ryan tersinggung dan marah. Terjadi cekcok mulut kemudian Ryan menikam Heri dan memukuli korban dengan sebatang besi. Setelah menjadi mayat, Ryan memotong-motong jenazah Heri menjadi tujuh bagian dalam dua koper besar dan kecil, serta dalam sebuah plastik. Dengan membawa potongan-potongan jenazah itu, Ryan naik taksi. Ia lalu membuang potongan-potongan jenazah itu di dua lokasi di tepi Jalan Kebagusan Raya, Sabtu pagi. Pembuangan mayat yang berbau anyir darah tersebut dan meninggalkan koper besar dijalan bahkan tidak mengundang kecurigaan supir taksi. Pukul 08.00, potongan mayat itu ditemukan. Setelah membuang potongan mayat Heri, Ryan memanfaatkan uang korban senilai Rp 3.040.000, dua kartu kredit BNI, dan satu kartu kredit ANZ, serta kartu anjungan tunai mandiri (ATM) BCA untuk berfoya-foya dengan kekasihnya, Noval.
Polisi menangkap Noval, seorang pegawai negeri sipil, di kantornya, di Margonda, Selasa (15/7) pukul 14.00. Sejam kemudian polisi menggerebek kos Ryan di Pesona Kayangan, Depok dan menyita sejumlah barang bukti dari apartemen, berupa dua kartu kredit BNI, dan kartu kredit ANZ, kartu anjungan mandiri BCA, laptop, telepon selular Nokia E71, cincin, pisau, potongan besi, dan mobil Suzuki APV milik Heri. Ryan dicurigai tidak sekali ini melakukan mutilasi, karenanya polisi masih memeriksa intensif Ryan. Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Metro Jaya Komisaris Besar Carlo Brix Tewu, didampingi Kepala Satuan Kejahatan dengan Kekerasan Ajun Komisaris Besar Fadhil Imran, dalam kasus ini, tim gabungan Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Selatan, dan Polsek Metro Pasar Minggu, melakukan pemeriksaan terhadap tersangka kasus mutilasi – Ryan, dengan memanggil 14 saksi, yang sebagian berasal dari kaum homoseks.
Berdasarkan kasus mengenai Ryan yang mengambil harta lalu menghabisi korbannya dengan memutilasinya, maka tim penulis merasa tertarik untuk membahas dan menganalisis mengenai kasus tersebut. Tim penulis ingin mengetahui mengenai letak keadilan yang sesungguhnya mengenai tindak pidana yang dilakukan Ryan. Tindak pidana merupakan suatu perbuatan melanggar atau bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu bentuk tindak pidana tersebut adalah tindak pidana pembunuhan. Dewasa ini tindak pidana pembunuhan cenderung meningkat, hal ini menyebabkan keresahan pada masyarakat.




1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan perincian latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan masalah yang akan kami angkat dalam makalah ini adalah :
Apakah dasar-dasar hukum yang berlaku dalam kasus tindak pidana yang dilakukan oleh Ferry Idham Heniansyah alias Ryan yang mengambil harta korbannya lalu menghabisi korbannya dengan memutilasinya?

1.3 Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui apakah dasar-dasar hukum yang berlaku dalam kasus tindak pidana yang dilakukan oleh Ferry Idham Heniansyah alias Ryan yang mengambil harta korbannya lalu menghabisi korbannya dengan memutilasinya

1.4 Manfaat penulisan
Manfaat penulisan dari makalah ini terbagi atas dua, yaitu:

1.4.1 Manfaat Akademis
o Menambah wawasan mengenai hukum dan kajian teori dalam ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum pidana.
o Untuk memberi pengetahuan baru bagi para mahasiswa, sekaligus menambah perbendaharaan data bagi kampus
o Untuk mengetahui dasar hukum mengenai kasus tindak pidana di Indonesia

1.4.2 Manfaat Praktis
o Untuk mengetahui dasar penerapan hukum pidana yang sesungguhnya sehingga praktek keadilan mengenai penegakan hukum terhadap hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup dapat terlindungi dan mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya
o Memberikan suatu tambahan informasi dan gambaran tentang penegakan hukum pidana di Indonesia

1.5 Sistematika penulisan
Sistematika penulisan yang dalam laporan ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini membahas latar belakang masalah mengenai alasan memilih judul PEMBUNUHAN BERANTAI DITINJAU DARI SUDUT PANDANG PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (Studi Kasus: Pembunuhan Berantai Oleh Ferry Idham Heniansyah alias Ryan Dengan Memutilasi Korbannya ), perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II KERANGKA TEORITIS
Bab ini membahas tentang teori–teori yang di gunakan, yang mendukung serta berkaitan dengan permasalahan yang akan dianalisis, seperti teori-teori hukum pidana yang relevan terhadap masalah yang akan dianalisis, tinjauan mengenai pelanggaran hak asasi manusia.

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan di uraikan mengenai hasil analisis yang mencakup gambaran umum tentang objek yang dianalis, serta hasil pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab terakhir ini merupakan hasil analisa dari penulis mengenai kasus yang dipilih, yang dimana dipaparkan secara singkat dan penyampaian saran berkaitan masalah yang telah dianalisis tersebut.

BAB II
KERANGKA TEORITIS

2.1 Hukum Pidana
Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.

Pengertian kepentingan umum:
1. Badan dan peraturan perundangan negara:
- Negara
- Lembaga Negara
- Penjabat Negara
- Pegawai negeri
- Undang – undang peraturan pemerintah

2. Kepentingan hukum tiap manusia:
- Jiwa
- Raga / tubuh
- Kemerdekaan
- Kehormatan
- Hak milik / harta benda

Pelanggaran dan Kejahatan:
1. Pelanggaran ialah mengenai hal-hal kecil atau ringan, yang diancam dengan hukuman denda, misalnya: supir mobil yang tak memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi), bersepeda tanpa lampu di malam hari.

2. Kejahatan ialah mengenai soal-soal yang besar, seperti:
- Pembunuhan
- Penganiayaan
- Penghinaan
- Pencurian


2.1.1 Sejarah Singkat Hukum Pidana Indonesia
Hukum Pidana yang berlaku sekarang ialah hukum pidana yang tertulis dan sudah dimodifikasi. Peraturan mengenai Pidana telah tersebar, sebab tiap-tiap Badan Legislatif dan tiap-tiap orang yang diserahi tugas guna menjalankan undang-undang (Presiden, Mentri, Kepala Daerah, dan sebagainya) berhak membuat peraturan pidana.
Peraturan – peraturan pidana yang dibuat badan legislatif dan badan eksekutif yang lebih rendah kedudukannya, tidak boleh bertentangan dan menyimpang dari badan – badan eksekutif serta legislatif yang lebih tinggi.
Peraturan – peraturan pidana yang terkumpul dalam suatu kitab ialah Kitab Undang-undang Hukum Pidana disingkat KUHP (Wetboek van Strafrecht= W.v.S). KUHP memuat peraturan – peraturan pidana yang berlaku terhadap seluruh penduduk Indonesia, karena dibuat oleh Badan Legislatif yang tertinggi dan sesuai dengan asas unifikasi hukum. KUHP lahir dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1918. Berdasarkan pasal II aturan peralihan dari UUD 1945 yo. Pasal 192 Konstitusi RIS 1949 yo. Pasal 142 UUDS 1950, maka hingga kini masih diperlakukan KUHP tersebut, yang diciptakan tanggal 1 Januari 1918, sebab pengaadaan KUHP baru belum ada.
Perubahan penting dari KUHP ciptaan Hindia Belanda, diadakan dengan undang – undang No. 1 tahun 1946. Dengan KUHP tersebut, maka mulai 1 Januari 1918 berlakulah satu macam Hukum Pidana untuk semua golongna penduduk Indonesia (unifikasi Hukum Pidana). Sebelum 1 Januari 1918 , berlaku 2 KUHP:
- Satu untuk golongan Indonesia (mulai berlaku 1 Januari 1873)
- Satu untuk golongan Eropa (mulai berlaku 1 Januari 1867)
KUHP untuk golongan Indonesia (1873) merupakan turunan dari KUHP untuk orang Eropa (1867). KUHP orang Eropa merupakan turunan kode penal – Hukum Pidana Perancis di era Napoleon di tahun 1811. Sebelum tahun 1867 orang – orang Eropa di Indonesia pada umumnya dikenakan hukum pidana dari Belanda atau hukum Romawi. Sedangkan bagi orang Indonesia sebelum tahun 1873 diperlakukkan hukum adat pidanannya masing – masing. Hukum pidana di Indonesia pada umumnya tidak tertulis dan bila tertulis belum merupakan suatu kodifikasi, sebab masih tercantum dengan hukum lain. Hukum adat bersifat kedaerah – daerahan.

2.1.2 Fungsi Hukum Pidana
Hukum pidana berfungsi sebagai pengendali kejahatan yang dibuat oleh manusia. Hukum pidana juga berfungsi sebagai penegas atau sebagai penerapan sanksi bagi hukum lain, seperti hukum perdata dan administrasi.

2.1.3 Tujuan Hukum Pidana
Hukum Pidana merupakan ilmu pengetahuan hukum, oleh karena itu peninjauan bahan-bahan mengenai hukum pidana terutama dilakukan dari sudut pertanggungan jawab manusia tentang “perbuatan yang dapat dihukum”. Kalau seseorang melanggar aturan pidana, maka akibatnya ialah bahwa bahwa orang itu dapat di pertanggungjawabkan tentang perbuatannya itu sehingga ia dapat dikenakan hukuman (kecuali orang gila, dibawah umur dan sebagainya).
Tujuan hukum pidana itu memberi sistem dalam bahan-bahan yang banyak dari hukum itu : asas-asas dihubungkan satu sama lain sehingga dapat dimasukkan dalam satu sistem. Penyelidikan secara demikian adalah dogmatis juridis. Selain itu, hukum pidana dilihat sebagai ilmu pengetahuan kemasyarakatan. Sebagai ilmu pengetahuan sosial, maka diselidiki sebab-sebab dari kejahatan dan dicari cara-cara untuk memberantasnya. Penyelidikan tentang sebab dari kejahatan ini dapat dicari pada diri orang (keadaan badan dan jiwanya) atau pada keadaan masyarakat.
Seperti juga setiap ilmu-ilmu pengetahuan membutuhkan bantuan dan keterangan dari ilmu pengetahuan lain, demikian pula ilmu hukum pidana ini mempunyai ilmu-ilmu pengetahuan pembantunya, diantaranya :
1. Anthropologi
2. Filsafat
3. Ethica
4. Statistik
5. Medicine Forensic (Ilmu Kedokteran bagian Kehakiman)
6. Psychiatrie-Kehakiman
7. Kriminologi

2.1.4 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Peninjauan terhadap KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dapat dari luar dan dapat pula dari dalam. Peninjauan dari luar ialah mengenai riwayatnya yang telah kita bicarakan dahulu, sekitar Undang-Undang Pidana dan beberapa ilmu pengetahuan pembantu dari hukum pidana. Dari dalam ialah mengenai bentuk dan isi kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Baiklah kita meninjau dari dalam karena riwayat KUHP telah dipaparkan di muka, dan kita mulai dengan uraian sekitar Undang-Undang Pidana :


- Undang Undang Hukum Pidana
Apakah Undang-Undang Hukum Pidana itu? Undang-Undang Hukum Pidana adalah peraturan hidup (norma) yang ditetapkan oleh instansi kenegaraan yang berhak membuatnya, norma mana ditambah dengan ancaman hukuman yang merupakan penderitaan (sanksi) terhadap barang siapa yang melanggarnya. Lazim juga dikatakan bahwa Undang-Undang Hukum Pidana adalah “Norma plus Sanksi”.
Norma dan sanksi itu pada umumnya terdapat pada satu pasal. Misalnya pasal 338 KUHP bunyinya : “Barangsiapa dengan sengaja mengambil nyawa orang lain dihukum, karena pembunuhan, dengan hukuman setinggi-tingginya 15 tahun.”
Dapat juga norma dan sanksi terpisah dalam beberapa pasal. Jadi dalam pasal I, II dan seterusnya disebutkan dahulu norma-normanya dan baru kemudian dalam pasal terakhir diterangkan bahwa “Pelanggaran-pelanggaran terhadap pasal I, II dan seterusnya dihukum dengan hukuman penjara paling lama sekian tahun.” Ada juga Undang-Undang Hukum Pidana yang bentuknya mengancam dengan hukuman (sanksi) terlebih dahulu. Sedangkan norma-normanya belum ada seperti misalnya bunyi pasal 122 KUHP : “Dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 15tahun, barangsiapa dalam masa perang dengan sengaja melanggar suatu peraturan yang diadakan oleh pemerintah untuk menjaga keselamatan negara”. Didalam pasal ini belum terdapat normanya melainkan baru nanti diadakan kalau masa perang tiba. Jika kita meninjau dengan teliti norma dari Undang-Undang Hukum Pidana itu, maka norma itu bukanlah norma asli dari Hukum Pidana melainkan dari norma-norma hukum lain.
Yang asli dan istimewa adalah sanksinya. Tetapi ini tidaklah berarti bahwa kalau kita melanggar Undang-Undang Hukum Pidana yang kita langgar sanksinya, melainkan tetap normanya. Sanksi itu tidak berdiri sendiri melainkan adalah untuk melindungi normanya itu.

- Siapakah yang berhak membuat Undang-Undang Hukum Pidana itu?
Kalau perkataan Undang-Undang Hukum Pidana itu diartikan sempit sebagai Undang-Undang, maka yang berhak membuatnya adalah badan legislative yang tertinggi (DPR) bersama pemerintah. Kalau diartikan luas sebagai peraturan maka yang berhak membuat peraturan pidana adalah semua badan legislative dan semua orang yang mempunyai kekuasaan eksekutif (Presiden, Menteri, Kepala Daerah, Kepala Polisi, Komandan Tentara dan lain lain).

Tentunya badan-badan dan orang-orang yang lebih rendah kedudukannya tidak boleh lagi membuat peraturan-peraturan pidana yang sudah dibuat oleh instansi-instansi yang lebih tinggi, apalagi yang bertentangan atau melampaui bata-batas kekuasaannya. Jika terjadi demikian maka dengan sendirinya peraturan pidana dari instansi bawahan itu tidak sah (menjadi batal).

- Bila suatu Undang-Undang Pidana mulai sah berlaku?
Syarat mutlak untuk berlakunya suatu Undang-Undang ialah sesudah diundangkan oleh pemerintah (dalam hal ini menteri Sekretaris Negara) dalam Lembaran Negara. Dalam zaman Hindia Belanda, Undang-Undang itu diundangkan dalam STAATSBLAD (Stb = S).Setelah diundangkan dalam Lembaran Negara Undang-Undang tersebut lalu diumumkan dalam Berita Negara (zaman Hindia Belanda : De Javasche Courant dan berita resmi di zama Jepang : Kan Po).
Tanggal mulai berlakunya Undang-Undang itu ialah menurut tanggal yang ditetapkan dalam Undang-Undang itu dan sendiri dan kalau tanggal itu tidak disebutkan, maka Undang-Undang itu mulai berlaku untuk Jawa dan Madura 30 hari sesudah diundangkan dalam Lembaran Negara dan untuk daerah yang lain 100 hari sesudah pengundangan itu. Sesudah syarat tersebut diatas dipenuhi maka tiap-tiap orang telah dianggap mengetahui Undang-Undang itu. Tidak boleh orang yang melanggar Undang-Undang itu, sambil membela atau membebaskan diri dengan alasan “Saya tidak tahu peraturan itu”.

- Bila suatu Undang-Undang Pidana tidak berlaku lagi?
Mulai tidak berlakunya itu dapat dinyatakan dengan tegas oleh instansi yang membuatnya atau oleh instansi yang lebih tinggi dengan menyatakan : Undang-Undang nomor sekian dicabut, dapat juga suatu undang-undang tidak berlaku lagi dengan tidak disebut-sebutkan yaitu karena hal itu telah diatur dengan Undang-Undang yang baru oleh instansi yang membuatnya atau oleh instansi yang lebih tinggi. Juga kalau waktu berlakunya undang-undang itu telah habis.
Singkatnya :
1. Suatu peraturan tak berlaku lagi bila waktu yang telah ditentukan oleh peraturan itu sudah lampau.
2. Bila keadaan itu untuk mana bunyi peraturan itu diadakan sudah tidak ada lagi.
3. Bila peraturan itu dicabut (dengan tegas atau tidak langsung)
4. Bila telah ada peraturan yang baru yang isinya bertentangan dengan peraturan yang duluan (kebijaksanaan dalam ketatanegaraan)
5. Sampai dimanakah kekuasaan berlakunya Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia?
2.2 Pembunuhan
Pembunuhan adalah suatu tindakan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan cara yang melanggar hukum, maupun yang tidak melawan hukum. Pembunuhan biasanya dilatarbelakangi oleh bermacam-macam motif, misalnya politik, kecemburuan, dendam, membela diri, dan sebagainya. Pembunuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Yang paling umum adalah dengan menggunakan senjata api atau senjata tajam. Pembunuhan dapat juga dapat dilakukan dengan menggunakan bahan peledak, seperti bom.
2.2.1 Mutilasi
Mutilasi menurut ilmu kriminologi adalah terpisahnya anggota tubuh yang satu dari anggota tubuh lainnya oleh sebab yang tidak wajar. Pelaku mutilasi adalah orang normal yang melakukan pembunuhan disertai tindakan memisahkan tubuh korban dengan kesadaran dan latar belakang emosinya. Tujuannya sebagai langkah aman utnuk menghilangkan jejak pembunuhan.

Faktor penyebabnya :
- Tayangan TV
- Faktor pribadi
- Lingkungan dan tekanan ekonomi
- Kecerdasan emosional
- Tingkat pendidikan yang rendah

Latar belakangnya karena penghargaan sosial yang kian menurun telah membentuk watak-watak keras, sehingga mengakibatkan perilaku sadisme. Penghargaan yang kurang ini juga akan mengakibatkan dendam sosial. Akibatnya akan terjadi penetrasi, kurangnya kontrol sosial, dan moral, sehingga menjadikan masyarakat begitu mudah melakukan pembunuhan mutilasi.


2.3 Psikopat
Psikopat secara harfiah berarti sakit jiwa. Pengidapnya juga sering disebut sebagai sosiopat karena perilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang terdekatnya.
Psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Psikopat tak sama dengan gila (skizofrenia/psikosis) karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya. Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati, pengidapnya seringkali disebut "orang gila tanpa gangguan mental". Menurut penelitian sekitar 1% dari total populasi dunia mengidap psikopati. Pengidap ini sulit dideteksi karena sebanyak 80% lebih banyak yang berkeliaran daripada yang mendekam di penjara atau di rumah sakit jiwa, pengidapnya juga sukar disembuhkan [1].
Seorang ahli psikopati dunia yang menjadi guru besar di Universitas British Columbia, Vancouver, Kanada bernama Robert D. Hare telah melakukan penelitian psikopat sekitar 25 tahun. Ia berpendapat bahwa seorang psikopat selalu membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta, menebar fitnah, dan kebohongan untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan dirinya sendiri.
Dalam kasus kriminal, psikopat dikenali sebagai pembunuh, pemerkosa, dan koruptor. Namun, ini hanyalah 15-20 persen dari total psikopat. Selebihnya adalah pribadi yang berpenampilan sempurna, pandai bertutur kata, mempesona, mempunyai daya tarik luar biasa dan menyenangkan.
Psikopat memiliki 20 ciri-ciri umum. Namun ciri-ciri ini diharapkan tidak membuat orang-orang mudah mengecap seseorang psikopat karena diagnosis gejala ini membutuhkan pelatihan ketat dan hak menggunakan pedoman penilaian formal, lagipula dibutuhkan wawancara mendalam dan pengamatan-pengamatan lainnya. Mengecap seseorang dengan psikopat dengan sembarangan beresiko buruk, dan setidaknya membuat nama seseorang itu menjadi buruk.

Gejala-gejala psikopat
1. Sering berbohong, fasih dan dangkal. Psikopat seringkali pandai melucu dan pintar bicara, secara khas berusaha tampil dengan pengetahuan di bidang sosiologi, psikiatri, kedokteran, psikologi, filsafat, puisi, sastra, dan lain-lain. Seringkali pandai mengarang cerita yang membuatnya positif, dan bila ketahuan berbohong mereka tak peduli dan akan menutupinya dengan mengarang kebohongan lainnya dan mengolahnya seakan-akan itu fakta.
2. Egosentris dan menganggap dirinya hebat.
3. Tidak punya rasa sesal dan rasa bersalah. Meski kadang psikopat mengakui perbuatannya namun ia sangat meremehkan atau menyangkal akibat tindakannya dan tidak memiliki alasan untuk peduli.
4. Senang melakukan pelanggaran dan bermasalah perilaku di masa kecil.
5. Sikap antisosial di usia dewasa.
6. Kurang empati. Bagi psikopat memotong kepala ayam dan memotong kepala orang, tidak ada bedanya.
7. Psikopat juga teguh dalam bertindak agresif, menantang nyali dan perkelahian, jam tidur larut dan sering keluar rumah.
8. Impulsif dan sulit mengendalikan diri. Untuk psikopat tidak ada waktu untuk menimbang baik-buruknya tindakan yang akan mereka lakukan dan mereka tidak peduli pada apa yang telah diperbuatnya atau memikirkan tentang masa depan. Pengidap juga mudah terpicu amarahnya akan hal-hal kecil, mudah bereaksi terhadap kekecewaan, kegagalan, kritik, dan mudah menyerang orang hanya karena hal sepele.
9. Tidak mampu bertanggung jawab dan melakukan hal-hal demi kesenangan belaka.
10. Manipulatif dan curang. Psikopat juga sering menunjukkan emosi dramatis walaupun sebenarnya mereka tidak sungguh-sungguh. Mereka juga tidak memiliki respon fisiologis yang secara normal diasosiasikan dengan rasa takut seperti tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut kering, tegang, gemetar -- bagi psikopat hal ini tidak berlaku. Karena itu psikopat seringkali disebut dengan istilah "dingin".
11. Hidup sebagai parasit karena memanfaatkan orang lain untuk kesenangan dan kepuasan dirinya.

2.4 Homoseksual
Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama secara situasional atau berkelanjutan. Pada penggunaan mutakhir, kata sifat homoseks digunakan untuk hubungan intim dan/atau hubungan sexual di antara orang-orang berjenis kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri merek sebagai gay atau lesbian. Homoseksualitas, sebagai suatu pengenal, pada umumnya dibandingkan dengan heteroseksualitas dan biseksualitas. Istilah gay adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada pria homoseks. Berikut teori -teori masa lalu dan keyakinan tentang penyebab homoseksualitas, apa yang membuat seseorang menjadi gay atau lesbian :
- Hubungan antara orang tua dan anak
Sebuah teori umum yang dipakai bertahun - tahun dalam menjelaskan penyebab homoseksualitas, sebagai pondasi pada praktek psikologi atau pemuka agama untuk perubahan homoseksual pria menjadi heteroseksual, adalah disfungsi hubungan antara orang tua, keluarga, dan anak, sering disebut sebagai teori "ibu yang dominan dan ketiadaan figur ayah." Jika seorang wanita homoseksual, lalu peran orang tua biasanya dibalik. Tapi riset para profesional membuktikan praktek teori ini tidak memperhatikan saudara laki dan saudara perempuan lainnya yang tumbuh di rumah yang sama dengan "ibu yang dominan dan ketiadaan figur ayah," dan tumbuh menjadi heteroseksual. Teori ini juga tidak mempertimbangkan kembar identik yang dipisahkan saat lahir, yang dibesarkan oleh orang tua yang berbeda, berbeda kultur dan sosial, dan keduanya menjadi homoseksual waktu dewasa. Dalam kenyataannya, penelitian menunjukan jika model keluarga dengan "ibu yang dominan dan ketiadaan figur ayah," ini sesungguhnya mungkin sebagai "hasil" seorang anak menjadi gay atau lesbian, dan bukan sebagai penyebab. Di dalam rumah yang demikian, seorang ayah mungkin secara tidak sadar merasakan perbedaan di anak gay , dan dirinya yang menjauh, tidak tahu bagaimana mengenali atau berinteraksi dengan anak. Kemudian, seorang ibu mungkin merasa perlu untuk memelihara dan melindungi anak yang malang ini, menggantikan ayah yang menarik diri.

- Kebingungan seksual
Bila anda melihat banyak kasus sejarah orang yang mengklaim dirinya "diobati, " yang telah "berganti," atau "berubah" dari homoseksual menjadi heteroseksual, sebagai produk "reparative therapy," sejarah kehidupan mereka sering menunjukan kebingungan gender masa kecil dan atau masa remaja, dan atau disfungsi identitas seksual. Sering bila anda melihat pada orang yang mengklaim perubahan, mereka dalam kenyataannya selalu heteroseksual, yang akhirnya disembuhkan dari identitas seksual dan atau gender, atau kebingungan orientasi.Kemudian, beberapa dari mereka yang mendapat kekerasan secara seksual di masa kecil dan memproses trauma ini ke dalam diri, atau orang yang entah bagaimana tumbuh dalam disfungsi identitas, gender, atau seksual yang menyebabkan mereka terikat pada perilaku seksual negatif. Lalu ada sekelompok kecil orang yang "gay" bukan karena orientasi seksual mereka, tetapi karena beberapa disfungsi dalam prosess dan perkembangan di kehidupan mereka. Hal ini sangat mengejutkan banyak orang, tetapi seharusnya tidak, sama halnya adanya disfungsi seksual heteroseksual, begitu juga ada disfungsi seksual homoseksual. Seseorang dapat berubah atau membungkus orientasi seksual mereka ke arah yang tidak sesuai dengan kodrat mereka.
Contoh, beberapa wanita yang terlibat dalam aktifitas homoseksual tidak benar - benar lesbian, tetapi sebenarnya heteroseksual yang tidak mampu mengembangkan hubungan yang baik dan positif dengan pria, baik karena tidak adanya model peran yang baik, atau pengalaman kekerasan secara seksual, verbal, atau fisik dari seorang pria; mereka beralih, dalam luka batin mereka, pada sebuah pencarian untuk pengasuhan dan penyembuhan di luar norma mereka; daripada mencari bantuan terapi untuk menyembuhkan trauma mereka, mereka mulai terlibat dalam disfungsi seksual dan hubungan emosional. Lebih lanjut, beberapa pria adalah heteroseksual yang terlibat aktifitas homoseksual, perilaku, dan identitas palsu yang disebabkan beberapa bentuk identitas diri atau seksual, penerimaan diri, dan atau disfungsi harga diri; hal ini ditunjukan terutama oleh kebingungan peranan gender pria tradisional yang "diterima"nya, sebuah pencarian untuk pengasuhan pria, atau penyembuhan terhadap putusnya hubungan pria. Disfungsi pada orientasi seksual mungkin menjadi bukti luka batin yang dalam, yang menjelma menjadi kebingungan, atau identitas seksual sebenarnya yang dibelokan. Pada umumnya, pada kebanyakan orang yang orientasi seksualnya diketahui, menjelma baik positif atau negatif. Tetapi, pada beberapa orang dengan disfungsi peranan gender atau identitas seksual mungkin menyebabkan timbulnya aktifitas seksual yang membingungkan.

- Faktor Genetik
Apakah orientasi seksual yang ditentukan oleh faktor genetik, atau ditentukan oleh faktor sosial, atau proses kultiral? Inti dari pertanyaan bukanlah penyebab asal dari homoseksual, tetapi merupakan pertanyaan moralitas orientasi seksual homoseksual. Jika homoseksualitas disebabkan karena faktor generik ada dua hal yang pada umumnya akan terjadi. Mereka yang percaya homoseksualitas adalah salah akan menggunakan bukti ini untuk membuktikan bahwa hal ini adalah penyakit genetik, dan menggunakan isu ini sebagai justifikasi untuk mencari "pengobatan," untuk mengisolasi dan atau menentang hak sipil orang gay. Mereka yang percaya bahwa homoseksualitas adalah sehat dan normal akan menggunakan isu ini untuk membuktikan bahwa hal ini merupakan perkembangan normal pada manusia, dan menggunakannya sebagai justifikasi bahwa homoseksualitas adalah normal, dan atau menjamin hak - hak sipil bagi orang gay. Jadi apakah hal ini karena faktor genetik atau bukan, atau sebagai hasil dari kehidupan tidak ada bedanya, cara lain orang menggunakan hasil ini sebagai justifikasi keyakinan mereka pada teori ini
- Moralitas
Namun sisa isu apakah menjadi gay atau tidak adalah baik atau buruk. Hal ini ditentukan apakah kita memandang kehidupan sebagai hitam dan putih, absolut, atau apakah kita memandangnya sebagai hitam, putih, abu - abu, dengan pilihan. Secara logika, banyak kehidupan bukanlah tentang baik atau buruk, tetapi netral. Tetapi ada banyak orang yang mencapai kehidupan dan benda - benda yang pada hakekatnya adalah sebuah hitam atau putih, baik atau jelek, perspektif baik atau buruk. Di komunitas agama ditemukan debat panas atau persepsi apakah homoseksualitas itu benar atau salah. Tidak ada yang secara alamiah salah pada segala sesuatu dalam kehidupan; bagaimana anda memilih atau tidak mereka memperbaiki diri sendiri, orang lain, sosial, dan budaya, atau apakah mereka menggunakan dan melakukan kekerasan pada sesama. Sebagai contoh, apakah menghadiri kotbah menjadikan perbaikan diri? ya, tentunya. Dapatkah menghadiri kotbah mengarah pada penggunaan dan perlakuan kekerasan diri? Bahkan hal - hal yang baik dapat digunakan untuk tujuan yang buruk. Terapkanlah hal yang sama pada orientasi seksual, apakah hitam atau putih, baik atau buruk, salah atau benar, atau netral sampai ada tindakan? Beberapa orang percaya bahwa seseorang mungkin berjalan pada orientasi seksual atau heteroseksual mereka apakah untuk perbaikan diri, orang lain, sosial dan budaya, atau untuk pengunaan dan perlakuan kekerasan pada sesama. Pada mereka yang percaya pada absolutisme, lalu homoseksualitas selalu salah dalam hal apapun; bagi mereka yang percaya orientasi seksual menjadi netral, bagaimana anda menghargai dan mewujudkannya akan menentukan kebenaranya, lalu homoseksualitas diterima.
- Kekerasan seksual (sexual abuse)
Anak yang mengalami kekerasan secara seksual, apakah dilakukan oleh orang yang sama jenis kelaminnya atau lain jenis, tidak akan tumbuh menjadi gay atau lesbian, tetapi trauma yang demikian dapat membelokan dan mencegah perkembangan orientasi seksual yang alamiah dan sehat, identitas seksual, dan hubungan seksual yang sehat. Penelitian menunjukan bahwa mayoritas orang yang mendapat kekerasan seksual pada waktu kecil adalah heteroseksual, bukan homoseksual, pada orientasi seksual mereka. Kekerasan seksual adalah sebuah kejahatan yang kejam, bukan sebuah kejahatan seks; Ini adalah sebuah kejahatan kekuatan satu orang terhadap orang lain, yang diarahkan di sekitar seksualitas. Anak yang mendapat kekerasan secara seksual sering berpikir mereka telah “ melakukan sesuatu yang pantas mendapatkannya,” mereka memberikan semacam sinyal yang menyebabkan hal tersebut. Bukan ini masalahnya; anak menjadi korban kejahatan, bukan pelaku kejahatan. Anak selalu tidak berdosa, selalu. Tetapi, rasa malu dan rasa bersalah yang palsu dapat menyebabkan seorang anak berkeyakinan ada sesuatu yang salah pada diri mereka. Kekerasan pada anak mungkin menyebabkan seorang anak tumbuh dengan disfungsi seksual, dan atau kebingungan orientasi seksual, termasuk hubungan seksual yang tidak sehat.
- Kebingungan Peran Gender
Tidak seorangpun anak yang tidak sesuai dengan peran gender “tradisional” akan tumbuh menjadi gay atau lesbian. Jika anda laki – laki, dan senang memasak, bersih – bersih, menjahit, mengecat, merangkai bunga, menari balet, lalu anda seharusnya stereotip gay; tetapi kebanyakan artis, koki, penari balet, bukan gay, dan sisanya campuran. Jika anda perempuan, dan suka menjerat sapi, bekerja di pengeboran minyak, anda seharusnya stereotip seorang lesbian. Salah lagi. Pekerjaan seseorang, hobi, atau melawan “peran gender tradisional,” tidak menjadikan seseorang gay atau lesbian. Tapi mungkin saja merupakan sebuah refleksi tingkat penolakan homoseksualitas oleh masyarakat tersebut. Di budaya atau masyarakat yang menindas atau menolak homoseksualitas, homoseksual cenderung mengendap pada stereotip seperti pekerjaan, hobi, bakat untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi diri mereka. Di negara yang terbuka pada kaum gay dan lesbian, homoseksual dan heteroseksual ditemukan sebanding di pekerjaan – pekerjaan dan peran – peran yang secara tradisional diyakini sebagai “maskulin” atau “feminism.” Pekerjaan yang diyakini sebagai “feminim” tetapi ditempati oleh seorang laki – laki, tidak berarti orang tersebut adalah atau akan menjadi gay; demikian juga dengan pekerjaan yang diyakini sebagai “maskulin” tetapi ditempati oleh seorang wanita. Isu utama di budaya yang demikian adalah apa yang diterima dan diyakini menjadi maskulin atau feminim, daripada tentang homoseksualitas.

2.5 Pasal – pasal
Buku Kesatu - Aturan Umum
Bab I - Batas-batas berlakunya Aturan Pidana dalam Perundang-undangan
Bab II – Pidana
Bab III - Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana
Bab IV – Percobaan
Bab V - Penyertaan Dalam Tindak Pidana
Bab VI - Perbarengan Tindak Pidana
Bab VII - Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatan-kejahatan yang Hanya Dituntut atas Pengaduan
Bab VIII -Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana
Bab IX - Arti Beberapa Istilah yang Dipakai dalam Kitab Undang-undang
Aturan Penutup

Buku Kedua – Kejahatan
1. Bab - I Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
2. Bab - II Kejahatan-kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden
3. Bab - III Kejahatan-kejahatan Terhadap Negara Sahabat dan Terhadap Kepala Negara Sahabat Serta Wakilnya
4. Bab - IV Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan
5. Bab - V Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
6. Bab - VI Perkelahian Tanding
7. Bab - VII Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang atau Barang
8. Bab - VIII Kejahatan Terhadap Penguasa Umum
9. Bab - IX Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
10. Bab - X Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas
11. Bab - XI Pemalsuan Meterai dan Merek
12. Bab - XII Pemalsuan Surat
13. Bab - XIII Kejahatan Terhadap Asal-Usul dan Perkawinan
14. Bab - XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan
15. Bab - XV Meninggalkan Orang yang Perlu Ditolong
16. Bab - XVI Penghinaan
17. Bab - XVII Membuka Rahasia
18. Bab - XVIII Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang
19. Bab - XIX Kejahatan Terhadap Nyawa
20. Bab - XX Penganiayaan
21. Bab - XXI Menyebabkan Mati atau Luka-luka Karena Kealpaan
22. Bab - XXII Pencurian
23. Bab - XXIII Pemerasan dan Pengancaman
24. Bab - XXIV Penggelapan
25. Bab - XXV Perbuatan Curang
26. Bab - XXVI Perbuatan Merugikan Pemiutang atau Orang yang Mempunyai Hak
27. Bab - XXVII Menghancurkan atau Merusakkan Barang
28. Bab - XXVIII Kejahatan Jabatan
29. Bab - XXIX Kejahatan Pelayaran
30. Bab - XXIX A Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan
31. Bab - XXX Penadahan Penerbitan dan Percetakan

Buku Ketiga - Pelanggaran
1. Bab I - Tentang Pelanggaran Keamanan Umum bagi Orang atau Barang dan Kesehatan
2. Bab II - Pelanggaran Ketertiban Umum
3. Bab III - Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum
4. Bab IV - Pelanggaran Mengenai Asal-Usul dan Perkawinan
5. Bab V - Pelanggaran Terhadap Orang yang Memerlukan Pertolongan
6. Bab VI - Pelanggaran Kesusilaan
7. Bab VII - Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman dan Pekarangan
8. Bab VIII - Pelanggaran Jabatan
9. Bab IX - Pelanggaran Pelayaran


BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN

Segi Seksualitas
Kasus pembunuhan Heri Santoso (40) yang dibunuh Ferry Idham Heniansyah alias Ryan (30), karena cemburu. Keduanya sama-sama tertarik pada Novel Andrias alias Noval (28). Mutilasi dilakukan di kamar 309A, Blok C, apartemen Margonda Garden Residence, Depok, Jum’at (11/7) pukul 20.00. Awalnya Heri datang ke apartemen Ryan dengan mobil Zuzuki APV hitam, B-8986-CR, pukul 20.00, Jum’at (11/7). Di apartemen, Heri melihat foto Noval, kekasih Feriansyah yang akrab dipanggil Ryan. Heri jatuh hati pada Noval, dan menyampaikan hal itu pada Ryan. Heri lalu menawarkan sejumlah uang kepada Ryan agar Noval bisa berhubungan intim dengan Heri. Ryan tersinggung dan marah.
Disini bisa dilihat semua orang, baik laki-laki maupun wanita pernah suatu waktu mengagumi atau menyukai seseorang yang satu gender dengannya, semisal seorang wanita mengagumi wanita lain yang cantik dan seksi atau seorang laki-laki yang suka melihat laki-laki lain yang berotot dan “body perfect”. Hal semacam ini berpotensi untuk menjadi seorang homoseksual. Berdasarkan informasi ilmiah harus diakui bahwa sesunguhnya setiap individu mempunyai potensi untuk menjadi seorang homoseksual. Namun kecenderungan ini mempunyai tingkatan yang berbeda. Dan karena kecenderungannya sangat kecil sehingga kita tidak merasakannya. Tetapi jika kecenderungan itu bisa mengakibatkan setelah mengagumi lalu tertarik dan terangsang terhadap sesama jenis, maka dapat dikatakan sebagai naluri homoseksual.
Definisi homoseksual sendiri adalah kelainan terhadap orientasi seksual yang ditandai dengan timbulnya rasa suka terhadap orang lain yang mempunyai kelamin sejenis atau identitas gender yang sama. Istilah yang sudah umum dikenal masyarakat untuk orang yang termasuk homoseksual adalah gay (untuk lelaki) dan lesbian (untuk wanita).
Faktor lain yang dapat menyebabkan orang menjadi homoseksual, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. DR. Wimpie Pangkahila (Pakar Andrologi dan Seksologi) selain faktor biologis (kelainan otak dan genetik), adalah faktor psikodinamik, yaitu adanya ganguan perkembangan psikseksual pada masa anak-anak, faktor sosiokultural, yaitu adanya adat-istiadat yang memberlakukan hubungan homoseksual dengan alasan yang tidak benar, dan terakhir adalah faktor lingkungan, dimana memungkinkan dan mendorong hubungan para pelaku homoseksual menjadi erat.

Dari keempat faktor tersebut, penderita homoseksual yang disebabkan oleh faktor biologis dan psikodinamik memungkinkan untuk tidak dapat disembuhkan menjadi heteroseksual. Namun jika seseorang menjadi homoseksual karena faktor sosiokultural dan lingkungan, maka dapat disembuhkan menjadi heteroseksual, asalkan orang tersebut mempunyai tekad dan keinginan kuat untuk menjauhi lingkungan tersebut.
Secara signifikan keberadaan kaum homoseksual di dunia ini patut diperhitungkan. Di suatu survei di Amerika Serikat pada saat dilangsungkan pemilu 2004, diketahui bahwa 4% dari seluruh pemilih pria menyatakan bahwa dirinya adalah seorang gay. Di Kanada, berdasarkan statistik Kanada menyatakan bahwa diantara warga Kanada yang berumur 18 sampai 59 tahun, terdapat 1% homoseksual dan 0.7% biseksual. Sedangkan di Indonesia, data statistik menyatakan bahwa 8 sampai 10 juta populasi pria Indonesia pada suatu waktu pernah terlibat pengalaman homoseksual.
Sebagaimana manusia lainnya, para homoseksual ini memiliki rasa yang sama dengan manusia normal lainnya. Rasa cemburu pun dimiliki oleh kaum ini, bahkan rasa cemburu yang berlebihan bisa timbul jika mengetahui kekasihnya berselingkuh dengan orang lain. Dan karena rasa cemburu yang dimilikinya terlalu besar, ada yang sampai tega membunuh pasangannya dan kejadian ini biasa dialami oleh seorang gay. Dan satu yang perlu diingat menjadi homoseksual adalah suatu pilihan bukanlah suatu takdir. Kecenderungan besar manusia untuk kembali ke kehidupan normal adalah kekuatan terpenting untuk sembuh dan keluar dari jurang tersebut.
Dan kaum homoseksual dari dulu sampai masa yang akan datang akan selalu ada, berkeliaran disekitar kita, terlihat jelas atau kasat mata, dan kita pun berpotensi menjadi bagian dari mereka, tinggal bagaimana kita menyikapinya dan memilih tetap menjadi “normal” atau menyerah pada potensi tersebut.

Pembunuhan Dengan Mutilasi
Terjadi cekcok mulut kemudian Ryan menikam Heri dan memukuli korban dengan sebatang besi. Setelah menjadi mayat, Ryan memotong-motong jenazah Heri menjadi tujuh bagian dalam dua koper besar dan kecil, serta dalam sebuah plastik. Kebencian Ryan pada Heri ditunjukkan Ryan dengan merusak alat vital Heri. Dengan membawa potongan-potongan jenazah itu, Ryan naik taksi. Ia lalu membuang potongan-potongan jenazah itu di dua lokasi di tepi Jalan Kebagusan Raya, Sabtu pagi. Yang entah bagaimana pembuangan mayat yang berbau anyir darah tersebut dan meninggalkan koper besar dijalan tidak mengundang kecurigaan supir taksi. Pukul 08.00, potongan mayat itu ditemukan.
Baru belum beberapa lama ini kita di hebohkan dengan pembunuhan dengan cara mutilasi, memisahkan sebagian anggota badan dengan cara di potong dengan benda tajam. Fenomena kriminalitas ini sungguh di luar nalar sehat manusia. Jika kami mengamati bahwa kejadian pembunuhan dengan cara memutilasi korban dalam kurun waktu ini sungguh sangat nge-trend. Apa yang sedang terjadi dengan masyarakat kita? Begitu burukkah nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat sehingga sebagian anggota masyarakat dengan seenaknya melakukan tindakan di luar batas kewajaran dan nalar sehat manusia. Tentu kita sebagai masyarakat yang notabene memiliki tanggung jawab moral dan sosial merasa tersakiti dan tentu juga khawatir pembunuhan saat ini tidak hanya menghilangkan nyawa orang lain tetapi juga dengan leluasa mengoyak dan menghilangkan bagian anggota dari si korban.
Peristiwa pembunuhan, khususnya yang disertai mutilasi, tahun 2008 mewarnai pemberitaan di media massa. Peristiwa tersebut bahkan terjadi berturut-turut. Setelah kasus Ryan, berturut-turut peristiwa mutilasi terungkap bermunculan di sejumlah daerah. Berbagai kasus pembunuhan mutilasi itu kerap dilatarbelakangi rasa marah, sakit hati, dan dendam pelaku terhadap korbannya. Pelaku dan korban kerap kali saling mengenal cukup baik, mulai dari keluarga sendiri, pembantu, juga tetangga. Profil pelaku kekejaman mutilasi ini semakin membenarkan pepatah yang menyebutkan “orang yang bermuka galak dan dingin memiliki hati yang lembut” karena semua pelaku mutilasi dikenal ramah, murah senyum, pandai bergaul dan banyak teman, hampir semua mereka menyembunyikan kekejaman dan kesadisan mereka dibalik senyum dan perilaku yang lemat lembut.
Peristiwa pembunuhan sadis disertai mutilasi memang tidak terjadi baru-baru ini. Setidaknya, sejak lebih tiga dekade yang lalu, negeri ini juga kerap digemparkan peristiwa pembunuhan mutilasi yang keji. Kondisi ini, menurut psikolog sosial Sartono Mukadis, merupakan gejala yang mengkhawatirkan. Sartono menyebutnya sebagai cetusan sosial yang lahir akibat dari kemarahan, keputusasaan, dan ketidakmampuan dalam menghadapi konflik yang biasanya diciptakan oleh dirinya sendiri.
Kekejian dan kekerasan yang menggejala juga merupakan indikasi fenomena anomi di masyarakat yaitu suatu fenomena dimana banyaknya kejahatan yang jelas-jelas salah seperti korupsi yang tidak dihukum, malah para pelakunya dipuja, dihormati dan menjadi pemimpin membuat kegamangan masyarakat dalam menyikapi nilai, agama dan norma. Persoalan dalam tata nilai masyarakat tidak semata bisa dijawab dengan penerapan pelajaran budi pekerti di sekolah. Namun, negara harus memiliki strategi yang lebih besar dan serius untuk membenahi karakter bangsa tanpa terjebak dalam program-program yang sloganistik.

Sementara itu, kejahatan yang makin beragam jenisnya dan makin kejam menyebabkan masyarakat dipaksa meningkatkan kewaspadaan di mana pun ia berada. Sistem keamanan di perkantoran, pusat perbelanjaan, dan di rumah-rumah makin ditingkatkan. Namun, terkadang bukan rasa aman yang dicapai, tetapi justru ketidaknyamanan serta rasa takut yang amat mengganggu. Apalagi, terkadang kejahatan muncul tanpa bisa diduga, bahkan di lokasi yang selama ini dianggap aman, seperti di gedung pengadilan atau di lingkungan paling dekat, yaitu di sekitar rumah sendiri. Pelakunya pun bisa jadi adalah orang-orang yang selama ini kita kenal baik.
Suasana yang melingkupi Kompleks Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akhir-akhir ini misalnya, berubah kaku dan tegang. Terali besi warna hijau tua mengapit rapat sebuah alat pendeteksi logam berdiri di pintu masuk gedung pengadilan yang berlantai tiga. Jika dulu setiap pengunjung pengadilan bebas keluar masuk gedung, kini semua harus dicek.

Membunuh Lalu Mengambil Harta Korban
Setelah membuang potongan mayat Heri, Ryan memanfaatkan uang korban senilai Rp 3.040.000, dua kartu kredit BNI, dan satu kartu kredit ANZ, serta kartu anjungan tunai mandiri (ATM) BCA untuk berfoya-foya dengan kekasihnya, Noval. Setelah membuang potongan mayat Heri, Ryan memanfaatkan uang korban senilai Rp 3.040.000, dua kartu kredit BNI, dan satu kartu kredit ANZ, serta kartu anjungan tunai mandiri (ATM) BCA untuk berfoya-foya dengan kekasihnya, Noval.
Menurut penuturan Ryan, dia membunuh karena rasa cemburu. Media juga membesar-besarkan masalah Ryan adalah seorang homoseksual dan mulai menjulukinya psikopat dan semacamnya. Padahal, kalau boleh kita perhatikan dari faktanya, Ryan tidak hanya membunuh pasangan homoseksualnya. Ini sudah merupakan tanda bahwa:
1) Dia bukan membunuh hanya karena cemburu
2) Dia tidak memiliki pola dalam membunuh, dengan kata lain, kami ragu dia benar-benar seorang psikopat.
Menurut penelusuran kami mengenai kasus ini, Ryan membunuh karena ia ingin merebut harta korbannya. Salah satu buktinya, korban Ryan yang adalah seorang ibu dan anaknya itu. Ini jelas di luar pola, kalau benar-benar Ryan membunuh karena rasa cemburu atau masalah hubungan dgn pasangan gay-nya. Fakta lain, semua korban yang dibunuh dirampas hartanya, ini bisa membuat dugaan Ryan memang membunuh untuk memenuhi kebutuhan dirinya atas harta.

Ryan adalah seorang yang ambisius tapi akibat lingkungannya yang tidak memadai, ambisinya untuk jadi orang kaya dan sukses terpendam dan terus berevolusi menjadi keputusasaan. Keputusasaan inilah mungkin yang memicu pembunuhan yang dilakukannya itu. Yang menyimpang dari Ryan adalah kemampuannya untuk menekan rasa bersalahnya atas pembunuhan yg dia lakukan. Sekali membunuh, dia merasa superior dan karena itu dia tega melakukannya lagi.

Pelanggaran Hukum Pidana
Ryan melanggar hukum pidana karena membunuh. Hukum Pidana merupakan ilmu pengetahuan hukum dan peninjauan bahan-bahan mengenai hukum pidana terutama dilakukan dari sudut pertanggungan jawab manusia tentang “perbuatan yang dapat dihukum”. Bila seseorang melanggar aturan pidana, maka akibatnya ialah bahwa bahwa orang itu dapat di pertanggungjawabkan tentang perbuatannya itu sehingga ia dapat dikenakan hukuman (kecuali orang gila, dibawah umur dan sebagainya).
Berdasarkan kronologi kejadian, Ryan memutilasi teman dekatnya, Heri Santoso, pada 11 Juli 2008 di kamar 309A apartemen Margonda Residence Depok. Selanjutnya, Ryan membuang potongan tubuh korban di tanah kosong di Jalan Kebagusan. Kejari Depok akan menempatkan Ryan di Rumah Tahanan Pondok Rajeg Cibinong. Ryan, tersangka pembunuhan terhadap Heri Santoso dan serangkaian pembunuhan di Jombang, diancam dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 338, 339, 340, 351 KUHP ayat 3 dan 365 KUHP ayat 3. Dalam Pasal 340 tentang Pembunuhan Berencana, Ryan terancam hukuman 20 tahun penjara, seumur hidup, atau mati. Sementara itu, dalam Pasal 338 tentang Pembunuhan dan Pasal 339 tentang dan pasal 365 tentang perampokan yang disertai kekerasan. Sedangkan Noval, dijerat dengan pasal 480 tentang penadahan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang pembunuhan, yaitu yang tercantum dalam pasal-pasal: 338 (pembunuhan biasa) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 15 tahun penjara, 339 (pembunuhan dengan pemberatan/yang dikualifisir) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara, 340 (pembunuhan berencana) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya pidana mati atau seumur hidup atau 20 tahun penjara, 341 (pembunuhan bayi/anak biasa) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 7 tahun penjara, 342 (pembunuhan bayi berencana) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 9 tahun penjara, 343 (untuk mengancam orang lain/selain ibu yang terlibat pembunuhan bayi) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya sama dengan 338 atau 340, 344 (euthanasia) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 12 tahun penjara, 345 (mendorong orang lain bunuh diri) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 4 tahun penjara, 346-349 (aborsi) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya (antara 4 - 12 tahun) penjara, 351 ayat 3 (penganiayaan biasa yang mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 7 tahun penjara, 353 ayat 3 (penganiayaan berencana yang mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 9 tahun penjara, 354 ayat 2 (penganiayaan berat yang mengakibatkan matinya orang dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 10 tahun penjara, 355 ayat 2 (penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 15 tahun penjara, 359 (karena kelalaiannya mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara atau satu tahun kurungan .
Di dalam memutus perkara hakim akan mempertimbangkan tentang alasan-alasan yang meringnkan dan memberatkan, misalnya faktor yang meringankan adalah si pelaku masih muda, menyesali akan perbuatannya, dan sebagainya, sedang alasan yang memberatkan misalnya karena dilakukan di bulan suci Ramadhan, menggunakan senjata tajam dan sebagainya. Perihal gangguan jiwa, dalam KUHP diistilahkan ‘jiwanya cacat dalam pertumbuhan’ dan ‘sakit berubah akal’ (pasal 44). Jiwanya cacat dalam pertumbuhan, memang sedari kecil sudah menderita kelainan misalnya idiot, dan sebagainya atau sakit jiwa.
Kemungkinan lain yang bisa terjadi, si terdakwa akan berdalih, bahwa ia tidak bermaksud membunuh, tapi hanya ingin menganiaya saja. Untuk alasan itu maka hakim perlu mempelajari teori tentang kesengajaan, yang dalam hal itu ada tiga teori tentang kesengajaan, yaitu kesengajaan sebagai maksud, sebagai sadar kepastian dan sebagai sadar kemungkinan.
1. Kesengajaan sebagai maksud, adalah memang terdapat hubungan langsung antara kehendak jiwa dan fakta kejadian, misalnya terdakwa menyatakan, ‘ya, saya memang bermaksud membunuh oleh sebab..”
2. Kesengajaan sebagai sadar kepastian, adalah memang jiwa tidak menghendaki akibat itu terjadi, tetapi dengan berlaku begitu pasti suatu yang tidak dikehendaki itu akan terjadi, misalnya si terdakwa mengatakan tidak berkehendak untuk membunuh, tapi, siapapun kalau dipancing pasti hal yang tidak dikehendakinya itu akan terjadi.
3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan, adalah memang jiwa tidak menghendaki akibat itu terjadi, tapi semestinya ia menyadari bahwa jika itu dilakukan, kemungkinan besar akibat yang tidak dikehendakinya itu akan terjadi, misalnya terdakwa mengatakan, bahwa ia tidak bermaksud membunuh, tapi mestinya ia menyadari bila pedang setajam itu ditebaskan pada bagian badan manusia akan menyebabkan pendarahan yang hebat, dan dengan demikian kemungkinan besar si korban akan kehabisan daran, yang tentu akan mengakibatkan kematiannya. Apalagi bila pedang itu mengandung racun.
Dari situlah hakim akan mengambil kesimpulan dengan apa yang disebut ‘mengobyektifkan’. Jadi walaupun terdakwa mengatakan tidak bermaksud, maka hakim bisa mengkategorikan sebagai sengaja. Dilihat perkembangannya, di tingkat penyidikan masih proses, di tingkat penuntutan masih pula proses, maka bila proses persidangan telah tuntas, hakim akan bermusyawarah kemudian memutus.

Menurut hukum, masih ada lagi kemungkinan untuk Banding ataupun Kasasi (upaya hukum biasa) dan juga ada yang disebut kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali (upaya hukum luar biasa). Dalam hukum barulah seseorang itu bisa dinyatakan bersalah kalau putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht).

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Peristiwa pembunuhan maupun penganiayaan terus mengalami perkembangan yang diiringi dengan gaya dan model yang sangat beragam, dari cara yang paling sederhana sampai yang tercanggih. Terkadang pembunuhan itu dilakukan dengan cara-cara yang keji seperti disiksa lebih dahulu, dibakar dan bahkan mutilasi. Menjadi suatu fenomena karena mutilasi adalah pembunuhan yang diikuti dengan memotong-motong tubuh korban hingga menjadi beberapa bagian yang dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan bukti. Tidak hanya itu, masalah sanksi terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan secara mutilasi ini dalam konstruksi hukum pidana Indonesia belum ada aturan yang pasti. Pasal yang sering dijadikan sebagai dasar hukum pelaku tindak pidana pembunuhan secara mutilasi adalah Pasal 340 KUHP dengan sanksi maksimal hukuman mati, yang terkadang hanya merupakan alternatif dari hukuman penjara. Dampak dari tindak pidana pembunuhan secara mutilasi ini sangat besar, disamping sadisnya pelaku dalam memperlakukan mayat korban, tapi juga mengakibatkan kerugian bagi keluarga si terbunuh dari dua sisi, yaitu mereka kehilangan orang yang mencari nafkah dan hatinya sedih karena kehilangan orang yang dicintainya. Sebagai hasilnya dalam penelusuran kasus ini, bahwa pembunuhan secara mutilasi itu merupakan pembunuhan yang disengaja dan direncanakan ditambah dengan unsur kesadisan dari pelaku dalam menganiaya mayat korban (dalam hal ini memotong-motong mayat korban). Sanksi pidana hukuman mati layak dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana pembunuhan secara mutilasi, dengan adanya sanksi pidana yang berat maka diharapkan kasus tindak pidana pembunuhan secara mutilasi ini tidak lagi dipandang sebagai suatu pembunuhan yang ringan.
Menurut saya, masyarakat Indonesia itu kurang mendapatkan pendidikan mengenai kesehatan mental karena masyarakat indonesia kurang mengenal ilmu psikologi secara luas. Dalam hal ini masyarakat awam yang kurang mengenyam pendidikan. Masyarakat indonesia kurang diajarkan bagaimana cara mengolah emosi, mengenali diri sendiri dengan baik, mengenali perubahan lingkungan. Fakta bahwa orang Indonesia belum mengenal psikologi secara luas itu tampak pada kenyataan bahwa di Indonesia, profesi psikolog jauh lebih sedikit daripada profesi dokter dan hanya sedikit rumah sakit di Indonesia yang menyediakan jasa psikolog. Padahal orang sakit biasanya mengalami kecemasan berlebihan, terutama bagi yang hampir meninggal dan menghadapi operasi.

Jadi banyak di Indonesia yang menderita gangguan mental tapi masyarakat tidak menyadari bahwa itu adalah gangguan yang harus ditanggulangi. Akhirnya menjadi gangguan yang sifatnya menetap dan orang lain melihatnya hanya sebagai bagian dari kepribadian orang tersebut. Masyarakat tersentak begitu orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar dugaan, misalnya mutilasi. Lalu masyarakat mulai menyadari bahwa ternyata dia mengalami gangguan jiwa. tapi itu sudah terlambat. Contoh lainnya. anak usia SD melakukan bunuh diri karena malu orangtuanya tidak bisa bayar uang SPP, lalu apakah orangtua tidak menyadari perubahan perilaku pada si anak? Padahal seharusnya orang yang tidak sehat secara mental pastinya mengalami perubahan perilaku yang cukup nampak, ini artinya masyarakat kurang dapat mengenalinya. Mungkin di sekitar kita sebenarnya banyak orang psikopat. tapi kita tidak pernah mau ambil peduli dan hanya menganggapnya sebagai orang aneh, tapi tidak mengambil tindakan apa-apa dan justru menjauhinya. Begitu dia melakukan kriminalitas barulah masyarakat heboh.
Mutilasi seolah menjadi tren kejahatan di 2008 ini. Pihak kepolisian pun dibuat sibuk, mengungkap kasus-kasus pembunuhan ini. Mengapa ada masyarakat yang berperilaku sekeji itu? Apa sebenarnya yang mendasari mereka melakukan perbuatan tersebut. Biasanya mutilasi dilakukan pelaku untuk menghilangkan jejak kejahatannya. Selain itu, mutilasi juga dapat menjadi bentuk penyaluran amarah atau sakit hati yang lama terpendam. Kasus mutilasi dengan tujuan penghilangan jejak, umumnya akan lebih sulit untuk diungkap. Potongan tubuh korban akan ditemukan di tempat-tempat berbeda dengan jarak relatif berjauhan, juga tidak adanya identitas tertulis yang dapat ditemukan di tubuh korban.
Dari beberapa kasus yang sudah terungkap, biasanya pelaku memiliki hubungan yang dekat dengan korban. Bisa juga karena ada pengaruh kehidupan keluarganya saat masih kecil. Cirinya pendiam, kalau ada masalah dipendam. Hanya pada suatu saat amarahnya meledak dan melampiaskannya dengan cara sendiri. Jadi, pada saat melakukan pembunuhan dan mutilasi itu, memang terjadi pada saat amarahnya meledak dan tidak dalam keadaan gangguan jiwa, dilakukan dalam kondisi normal, tidak menemukan gangguan psikologis.
Kecemburuan juga dapat menjadi pendorong yang kuat, untuk melakukan tindakan mutilasi. Pada kasus pembunuhan karena cemburu yang disertai mutilasi, biasanya masih ada ketidakpuasan dari sang pelaku saat melihat pasangannya tewas. Mutilasi yang didasari rasa sakit hati, marah, dan kecemburuan, dimana tindakan menyakiti orang lain ini bertujuan untuk mencapai kepuasan pribadi. Aksi membunuh ternyata belum cukup meredakan amarah atau mengobati kekecewaan si pelaku. Pelaku yang sudah merasa tersakiti merasa bahwa kematian tidak cukup menyakitkan bagi sang korban maka diambillah keputusan untuk memotong-motong bagian tubuh. Motif tindakan mutilasi memang beragam, dari sekadar menghilangkan jejak, hingga melibatkan emosi yang mendalam, seperti kecemburuan, kekecewaan, dan kemarahan.

Saran

Dinamisme arus informasi atau pemberitaan media massa di Indonesia dalam beberapa tahun belakang ini, pasca reformasi, nampaknya sekarang semakin terkesan “bebas” atau boleh lebih dikatakan “vulgar” lantas kenapa hal tersebut bisa terjadi tentu ada persoalan yang melatar belakangi hal tersebut sehingga menjadi ketengah sorotan pubik atau khalayak. Media massa dalam pemberitaan cenderung bisa menggiring publik atau individu untuk melakukan aktivitas yang melanggar hukum dalam arti sebagai inspirasi dalam melakukan kejahatan. Pelaku kriminalitas hampir bisa dipastikan meniru praktik kejahatan melalui media massa. Mengutip pernyataan pakar kriminolog Universitas Indonesia Erlangga Masdiana dalam sebuah media cetak bahwa media menjadi alat pembelajaran bagi pelaku dalam mengemas perbuatan kriminal dan memang hal ini dengan fakta-fakta atau indikasi yang beralasan (reasonable), ketika kita melihat begitu banyak kasus-kasus pembunuhan disertai mutilasi yang belakangan muncul berkali-kali yang bisa dibahasakan secara kriminologi adalah perbuatan sadis (sadism).
Menurut data riset kompas bahwa 2008 sejak Januari–November terjadi 13 pembunuhan dengan mutilasi di Indonesia. Angka inilah yang cukup fantastis untuk periode tahunan sejak kasus mutilasi muncul tahun 1967. Sementara itu pada tahun 2007 hanya terjadi tujuh peristiwa mutilasi sedangkan untuk 2009 sejauh ini terdapat hanya satu kasus sejauh yang kami ketahui. Pemberitaan media yang sifatnya informasi dalam bentuk sajian kriminal atau tayangan-tayangan kriminal di televisi sebab asumsinya jelas televisi sangat dimungkinkan berpengaruhnya langsung pada publik dalam konteks gaya hidup budaya dan lingkungan. Sementara media cetak pun bisa saja juga mengarah pada kejahatan namun efeknya kadang hanya dalam skala sedang tidak besar seperti televisi. Namun secara umum dapatlah dikatakan bahwa media (elektronik dan cetak) berbeda namun pengaruhnya bisa sama terhadap masyarakat/ konsumennya.
Untuk televisi hampir semua lapisan bisa menyaksikan baik itu masyarakat di level atas dan menengah, sementara begitu juga surat kabar atau tabloid bisa dibaca banyak orang. Dan bisa dipastikan dapat berpengaruh terhadap perilaku menyimpang yang secara kriminologis. Media disebut salah satu pendorong dominan dalam perilaku kejahatan, termasuk mutilasi. Miris, sadis dan ngeri menyikapi fenomena kasus mutilasi yang marak terjadi di sepanjang tahun. Di Jakarta, pada tahun 2008, empat bulan pertama telah terjadi empat kasus mutilasi. Kemudian pada skala lebih besar antara Januari hingga November tak kurang ada 13 kasus mutilasi terjadi di Indonesia. Jumlah ini dua kali lebih banyak dibanding tahun 2007 yang hanya ada sekitar tujuh kasus mutilasi.
Selain itu, banyak dari tersangka pelaku mutilasi menuturkan motivasi inspirasi pemutilasian itu. Secara jujur, beberapa dari mereka mengakui adegan mutilasi itu meniru pemutilasian yang dilakukan Ryan, pria penjagal dari Jombang yang menghilangkan 11 nyawa. Kepala Unit Kejahatan dengan Kekerasan Polda, Metro Jaya Komisaris Jarius Saragih mengaku sering menemukan para pelaku tindak kejahatan yang berhasil disidik polisi mengakui perbuatannya karena meniru sajian media massa, terutama tayangan televisi.
Terlepas dari latar belakang pelaku tindak kejahatan (pemutilasi) karena sakit hati, dendam atau mengalami gangguan jiwa, pengaruh media massa baik cetak maupun elektronik terhadap perilaku sosial di masyarakat memang sudah menjadi kajian cukup lama. Pada tahun 1977 sebuah riset yang dilakukan Albert Bandura menemukan, media televisi disebut sebagai salah satu pendorong peniruan lebih dominan dalam perilaku kejahatan, termasuk mutilasi. Begitupun hasil penelitian yang dilakukan Doris Graber tahun 1980 di Amerika Serikat, dimana 94% responden dari penelitian itu menyatakan media massa menjadi sumber informasi utama mengenai berita kejahatan dan peradilan. Sementara penelitian program tayangan kekerasan di televisi Amerika Serikat pada akhir tahun 1990-an yang dilakukan Leonard Eron dan Rowell Huesman menyebutkan tontonan kekerasan yang dinikmati anak usia 8 tahun akan berpotensi mendorong aksi kriminalitas pada saat usia 30 tahun.
Oleh karena itu kami ingin menyarankan kepada pihak media khususnya televisi, untuk terus berupaya belajar dan mengoreksi gambar-gambar yang bersifat vulgar disensor atau korban yang melibatkan anak kecil tidak ditayangkan dan wajah pelaku kejahatan sengaja ditutupi atau malah dikaburkan. Berusaha menghindari pemberitaan kriminal yang sifatnya terlalu sensasional atau bombastis. Selain itu, khusus anak-anak, orang tua seharusnya selalu mendampingi di saat mereka menyaksikan televisi yang menayangkan sebuah tindak kejahatan.